PENDIDIKAN HUMANIS
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar)
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan
bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk
menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat
bahwa celah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh
pendidikannya saat ini.
Komentar yang menyoroti mutu pendidikan sudah sejak lama dilontarkan oleh
pengamat pendidikan. Meskipun mengacu pada indikator yang berbeda, mereka
sependapat bahwa mutu pendidikan kita masih rendah. Perbincangan mengenai
rendahnya mutu pendidikan memang belum dan tidak akan kunjung selesai, karena
banyaknya variabel yang mempengaruhi mutu pendidikan. Mencari masalah tersebut
agaknya seperti mengurai benang kusut yang sulit dicari ujung dan pangkalnya.
Pendidikan bukanlah merupakan suatu kegiatan rutin an sich atau pun
hanya terpaku pada tujuan yang telah ditentukan semula, akan tetapi pendidikan
harus melepaskan manusia dari kungkungan alamiah maupun kungkungan biologis.
Habitus anak manusia merupakan habitus yang terbuka yang berkembang sesuai
dengan perkembangan akal-budinya dan kemerdekaannya. Sebagai makhluk yang
bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun
terikat kepada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan
manusiawi.
Pendidikan harus mampu menciptakan manusia-manusia yang siap dan eksis
untuk hidup di tengah-tengah perubahan yang ada. Sehingga manusia tidak ikut
lebur dalam arus yang menerpanya, malainkan mampu mengendalikan arus perubahan,
kemana kehidupan sebuah masyarakat akan dikendalikan.
Bagaimana pun, pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial
dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari
pendidikan yang diperolehnya. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki
kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya.
Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga
hasil yang dicapai pun memuaskan.[1] Karena proses pendidikan merupakan
suatu proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang
tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus
terarah kepada pemerdekaan manusia.[2]
Ada pandangan yang agak klasik dan menjadi pandangan wacana publik
dikalangan ahli pendidikan, yaitu pandangan mengenai pendidikan sebagai proses
humanisasi atau biasa disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Pemahaman
terhadap konsep ini memerlukan renungan yang sangat mendalam, sebab apa yang
dimaksud dengan proses pemanusiaan manusia tidak sekedar yang bersifat fisik,
akan tetapi menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan
realitas yang mengitarinya. Sebagaimana yang dikatakan H.A.R. Tilaar, bahwa
hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari
akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif
yang terwujud di dalam budayanya.[3]
Hal ini sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3, yang berbunyi :
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab”[4]
Namun hingga saat ini menurut
Sulaeman, pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan
manusia, yang terjadi justeru sebaliknya
yakni menambah rendahnya derajat dan martabat manusia. Eksistensi yang
sebenarnya menjadi hak milik secara mutlak untuk survive dan
mengendalikan hidup, ternyata hilang dan kabur bersama arus yang menerpanya.
Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan
situasi sosio-historis dan kondisi
lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan yang dilakukan Barat
(kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama berabad-abad ternyata
membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir dunia pendidikan,
sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan yang berlangsung. Salah
satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang telah melanda negara
jajahan-bukan Indonesia saja melainkan semua negara jajahan khususnya
negara-negara Islam adalah dengan munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang
lebih tepat disebut sebagai “anak-anak
yang tertipu”. Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan” ini
didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya dan
moralnya.[5]
Sehinga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar
budayanya melihat Barat dengan rasa
kagum yang teramat besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya,
mereka membuang jauh-jauh budaya yang humanis untuk diganti dengan budaya
materialis dan hedonis, yang makna kebertahanannya tidak lagi terealisasikan
dalam tindak dan perilaku sehari-harinya.[6]
Rangkaian uraian di atas menggambarkan bahwa pendidikan yang berlangsung
sampai saat ini dapat dinilai belum mampu menyadarkan manusia akan dirinya.
Sehingga pendidikan tidak dapat memberikan kontribusi kepada manusia untuk
meningkatkan derajatnya yaitu tetap eksis dan berada di depan dalam membawa
segala perubahan. Padahal pendidikan seharusnya telah menampakkan hasil yang
memuaskan, tatkala manusia sudah semakin yakin bahwa pendidikan adalah
institusi yang mampu membentuk karakter-karakter manusia yang ditandai dengan
semakin tumbuh dan berkembangnya potensi dasar manusia tersebut. Sehingga
manusia dapat mengenal dirinya sendiri, alam, dan Tuhannya. Hal ini dikarenakan
potensi yang dimiliki manusia bukan hanya sekedar potensi dalam hal minat-bakat
dan berpikir, tetapi yang lebih luas lagi yaitu potensi bermasyarakat dan
beragama (ber-Tuhan).
Kondisi pendidikan yang belum mampu menjadi fasilitator menuju pengembangan
potensi tersebut, diperparah lagi oleh sosial-politik yang mengitarinya.
Pendidikan kita justru digunakan sebagai alat indoktrinasi berbagai
kepentingan, baik kepentingan politik yang akhirnya menuju pada pelanggengan
kekuasaan (status quo), ilmu pengetahuan dan teknologi yang melampaui
batas sehingga menggeser dan tidak menghargai eksistensi manusia maupun
kepentingan agama dengan sentimen-sentimennya untuk mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya agama yang benar dan menganggap agama lain salah tanpa disertai
sikap inklusif dan pluralis, yang pada gilirannya menjadikan agama rawan
konflik.
Hal
tersebut diperparah lagi dengan budaya nasional yang kurang selaras apabila
diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat menghambat untuk
perkembangan pendidikan di Indonesia. Ada empat aspek budaya nasional yang tidak
selaras tersebut dan perlu direformasi.[7] Pertama, prinsip
kepatuhan total (principle of total obedience). Prinsip ini masih
tinggi dipegang oleh para pendidik. Dalam prinsip ini, seorang murid harus
patuh secara total terhadap perintah, tugas dan pernyataan guru yang
bersangkutan, tanpa boleh membantah, berdebat atau mengelak. Akibatnya, sistem
pendidikan seperti berlaku dalam garis komando militer. Ketika murid berbuat
salah, ia akan menerima hukuman dan ganjaran tanpa bisa menolak.
Kedua,
budaya tidak melontarkan
pertanyaan atau berpikir menentang (unquestioning mind). Seorang murid
dituntut tidak boleh tampak lebih pintar dari gurunya dalam penguasaan suatu
materi pelajaran. Sehingga, ketika seorang murid mengetahui penjelasan yang
disampaikan gurunya salah teori atau salah kutip, ia harus diam. Jika berani
sok pintar lebih dari guru, maka sang guru akan merasa tersinggung dan menekan
murid tersebut dengan pemberian niali tes yang tidak adil.
Ketiga, yang lebih tua mengetahui semuanya (elders
know all). Bahwa orang yang lebih tua mengetahui banyak hal dan banyak
ilmu. Kebanyakan orang Indonesia sungkan untuk membantah, berdebat dan berbeda
pendapat dengan para guru, bos atau yang lebih tua, karena perasaan sungkan
yang berlebihan. Kultur yang terkonstruk di masyarakat telah menjadikan
manusia-manusia penakut dengan alasan etika dan kesopanan.
Keempat, guru tidak mungkin berbuat salah (teachers
can do wrong). Prinsip ini diamini dengan adanya filosofi guru yaitu yang
digugu dan ditiru. Ini karena guru dinilai merupakan figur teladan masyarakat.
Sebagai figur ia tidak mungkin melakukan kesalahan atau kecerobohan.
Keempat aspek tersebut memang agak sulit dilepaskan dari insan pendidik dan
juga dari masyarakat pada umumnya. Padahal jika kita memahami hakekat pendidikan,
seperti yang dikemukakan H.A.R. Tilaar di atas, sebenarnya ada dua pemahaman
tentang definisi pendidikan. Pertama, adalah proses pewarisan, penerusan
atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model
anutan masyarakat lingkungannya secara baku. Kedua, adalah sebagai upaya
fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar
yang dimiliki oleh anak yang dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival
Adapun dua pemahaman di atas mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap
praktek-praktek pendidikan, termasuk pendidikan agama. Sebab pewarisan
seringkali diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan sebuah utopia
tertentu yang bersifat statis. Sedangkan anggapan kedua lebih memungkinkan bagi
anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam
kontek lingkungan dan kurun waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam
panggung sejarahnya sendiri
Dalam pengamatan penulis, kedua pemahaman dan sekaligus orientasi
pendidikan di atas tidak menjadi persoalan. Artinya, baik pemahaman pertama
maupun kedua meskipun tidak dijalankan secara bersama-sama akan tetap
membuahkan hasil yang memuaskan. Karena memang pendidikan juga harus
diarahkan pada pewarisan tradisi,
terutama tradisi yang baik sekaligus diiringi sikap kritis. Tetapi jika
keduanya selalu dipertentangkan, dan tidak dijalankan secara bersama-sama maka
mengakibatkan kepincangan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal tujuan
yang akan dicapai. Pada satu sisi, hanya bersifat penerusan suatu tradisi tanpa
disertai wawasan untuk memecahkan persoalan hidup dan mencapai hidup, sedangkan
sisi kedua, hanya mengandalkan skill untuk menciptakan sesuatu, sehingga
anak tidak dapat mengatasi persoalan yang ada di depannya dan berkompetisi
dalam kehidupannya, yang akhirnya menjadi “robot-robot” bernyawa.
Karena itu sudah saatnya dua pemahaman tentang pendidikan tersebut untuk
dilebur menjadi satu dan dilaksanakan secara bersama-sama (integral). Sehingga
antara pengetahuan tentang nilai-nilai yang ada dengan kemampuan untuk membuat
sesuatu yang berguna dalam kehidupannya dan jiwa berpikir ke depan dapat
terinternalisasi dalam diri seseorang.
Perlu dipahami, bahwa pendidikan pada dasarnya adalah kerja budaya, yang
tidak hanya indentik dengan penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah.
Namun pendidikan mencakup semua lingkup belajar yang lebih luas, yaitu
bagaimana seorang anak melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman
yang berubah. Dengan demikian, anak adalah aktor dan subyek yang melakukan
akulturasi dan enkulturasi kebudayaannya dalam bersosialisasi dengan
masyarakatnya. Sebagai subyek kebudayaannya, seorang anak tidak hanya berusaha
mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasan masyarakat,
tapi juga dalam proses itu adakalanya mempertanyakan, meragukan bahkan kalau
perlu memberontak terhadap sesuatu yang mapan
Dalam kerangka inilah, Kartono mengajukan sebuah sistem demokrasi sebagai
pilihan, baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Sehingga
memunculkan kesadaran diri untuk berbangsa dan bernegara dan mampu membawa
cita-cita modernisasi bangsa.[8]
Namun
pendidikan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung didasarkan pada
pola keseragaman (uniformitas), yang tidak menghargai keunikan anak
manusia (pluralitas). Keunikan seorang atau sekelompok manusia dipandang
sebagai suatu keanehan dan bahkan keburukan yang harus dihindari. Anggapan
semacam inilah yang sebenarnya harus dihindarkan dalam dunia pendidikan.
Di lain sisi, dalam pandangan Mulkhan, sentralisasi pendidikan yang tejadi
selama ini, menciptakan kesadaran atas nilai modernitas tentang keseragaman dan
tidak berharganya keunikan manusia dan anak didik. Hal ini menyebabkan manusia
kehilangan jati diri dan kepekaan sosialnya. Profesionalisme dan mutu
keunggulan kemanusiaan lebih terkonsentrasi kekuasaan di Jakarta. Dunia
pendidikan menjadi tergantung pada pusat kekuasaan yang menempatkan dan
menjadikannya sebagai alat politik dan kebudayaan, bukan praktek politik dan
kebudayaan itu sendiri.[9]
Selain itu, fenomena konflik, kekerasan, keberingasan dan kesadisan dalam
semua kehidupan dewasa ini telah menunjukkan fenomena kemanusiaan yang lebih
serius dalam peradaban modern. Menurut Mulkhan, manusia bukan hanya menghadapi
keterasingan dan dehumanisasi modernitas tetapi hilangnya semangat kemanusiaan.
Manusia kehilangan dunia kemanusiaannya. Hal ini bukan hanya diakibatkan karena
rendahnya interaksi sesama, tetapi akibat kompleksitas interaksi yang
artifisial (budaya meniru). Interaksi hubungan sosial menjadi suatu yang
“terpaksa” dilakukan sebagai kebiasan yang rutin tanpa kesadaran rasa
kemanusiaan yang mendalam.[10]
Sebuah prinsip yang harus dipegang dalam pendidikan khususnya pendidikan
Islam yakni pengembangan belajar sebagai muslim baik bagi terdidik maupun
pendidik. Setiap rangkaian belajar mengajar harusnya ditempatkan sebagai
pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi atau
internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana peserta
didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya. Ketaqwaan dan keshalehan bukanlah
sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi melalui sebuah tahap
penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat. Karena itu, pendidikan tidak
lain sebagai proses penyadaran diri dan realitas universum.[11]
Karena pendidikan (Islam) berupaya membawa manusia pada penyadaran
kehidupan bermasyarakat dan bertuhan. Manusia seharusnya disibukkan pada
kehidupan yang kongkrit (dunia) tanpa melupakan yang abstrak (akhirat), suatu
kehidupan yang seimbang menuju sa’adah al darain (kebahagiaan dunia
akhirat) tersebut.[12] Manusia harus memikirkan siapa
dirinya, lingkungannya dan Tuhannya beserta relasi-relasi yang ditimbulkan atas
kebertuhananya itu. Bukan hanya mengurusi dirinya sendiri dengan melupakan
sesamanya atau hanya memikirkan dan mengurusi dirinya dan manusia lain dengan
melupakan Tuhan atau juga hanya mengurus Tuhan sehingga melupakan kewajiban
dunianya. Manusia harus sadar bahwa dalam dirinya terdapat potensi yang besar
untuk melakukan tindakan yang kejam dan tidak manusiawi. Apabila hal ini tidak
diikuti dengan kesadaran bertuhan maka tidak dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi di dunia ini, akankah dunia tetap bertahan dengan prilaku menusia yang
senantiasa menggerogotinya?
Analisa
yang diberikan Mulkhan tentang kelalaian dalam proses pendidikan (Islam) barang kali bisa memberikan titik terang, menurutnya hal
tersebut disebabkan oleh pijakan-pijakan yang digunakannya. Pendidikan
seharusnya melihat dan mengambil pengalaman dari proses kehidupan-kehidupan
yang berlangsung. Selama ini, masyarakat dihinggapi sebuah asumsi bahwa
kehidupan masyarakat tradisional dianggap tidak mampu memecahkan problematika
kehidupan. Karenanya, masyarakat kemudian menggantinya dengan modernitas, yang
justru pada saat ini kita merasakan kebobrokannya karena modernitas telah
menempatkan manusia jauh dari dirinya, sebagai akibat pola berpikir yang sangat
materialistis dan logika materialisme yang menjadi ciri modernitas tersebut.
Mulkhan sangat menyayangkan, bahwa basis tradisional yang sarat dengan
nilai-nilai demokratisasi kini diganti dengan nilai-nilai modernitas tanpa
pijakan yang manusiawi, yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari dirinya dan
lingkungan serta Tuhannya. Sebenarnya, kesadaran tradisional lebih mendorong
tumbuhnya keunikan kebudayaan yang lebih manusiawi. Pendidikan sebagai praktek
modernisasi menjadi praktek dehumanisasi dan penindasan kemanusiaan. Modernitas
telah membelah kesatuan dan memutus mata-rantai kontinum realitas materil
hingga spiritual-metafisik.[13]
Dalam
menghadapi situasi demikianlah, kemudian Mulkhan banyak memberikan sorotan dan
kritik terhadap proses pendidikan yang berlangsung dewasa ini. Mulkhan
menginginkan proses belajar mengajar yang diarahkan pada tumbuhnya kreatifitas
dan kemandirian anak didik dalam menghadapi segala perubahan dengan upaya
menempatkan pendidikan sebagai sebuah proses pemanusiaan manusia. Karena itu
menurutnya, pendidikan harus didasarkan kepada keunikan personalitas anak
manusia.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan
di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap
pikiran-pikiran para praktisi pendidikan yang dituangkannya dalam beberapa buku
dan artikel yang banyak menyorot berbagai persoalan kontemporer yang
dilandaskan pada kerangka kemanusiaan atau pemuliaan manusia yang didasarkan
kepada potensi yang dimilikinya. serta bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk pluralitas sebagai sebuah
keniscayaan yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun tidak. Karenanya, penulis ingin
meneliti lebih jauh tentang konsep pendidikan yang humanis. Sehingga memberi judul penulisan ini dengan judul: PENDIDIKAN
HUMANIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Konsep
dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar)
B. Fokus Penelitian
Dari
uraian di atas, maka focus masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi
ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pendidikan
humanis?
2. Bagaimana perspektif Islam
tentang konsep pendidikan humanis?
3. Bagaiamana implementasinya
dalam proses belajar mengajar?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
dalam penulisan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus.
Tujuan secara umum adalah mengungkapkan konsep pendidikan humanis, sekaligus
mendeskripsikan pemikiran para tokoh pendidikan, baik Barat maupun Islam,
tentang pendidikan yang humanis. Sedangkan tujuannya secara khusus adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep
pendidikan humanis sebagai upaya memanusiakan manusia
2. Untuk mengetahui pendidikan
humanis dalam perspektif Islam yang dikaitkan dengan dunia pendidikan Islam
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis berkaitan dengan penulisan
skripsi ini, antara lain adalah:
1. Kajian tentang pendidikan yang
humanistik ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran terhadap dunia
pendidikan terutama yang berkaitan dengan upaya mengembalikan pendidikan jiwa
yang semestinya, yaitu pendidikan sebagai upaya pembebasan dan pemulyaan
manusia.
2. Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan
mutu pendidikan sekaligus kualitas sumber daya manusia. Karena memang, pada
hakekatnya pendidikan dirancang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki
manusia, sehingga sumberdaya manusia menjadi berkualitas. Sebagai upaya
penumbuhan potensi peserta didik, maka diperlukan sebuah konsep pendidikan yang
mampu merealisasikan yaitu dengan konsep humanisasi pendidikan. Karena itu
penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan
yang humanistik.
3. Memberikan sumbangan pemikiran kepada
masyarakat luas, berupa informasi secara teoritik-historis tentang perkembangan
pendidikan dan pembaharuannya dalam upaya menjawab tantangan masa depan umat
manusia
E. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan skripsi ini
ini, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat
dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional. Pertama adalah
kata “humanis,” dan kedua adalah kata “Islam”, dalam hal ini
pembahasannya lebih ditekankan pada pendidikan Islam supaya ada sinergitas
pembahasan dan lebih spesifik, sesuai pokok pembahasan, yaitu masalah
pendidikan.
Dalam kamus besar Indonesia,[14] dapat kita jumpai humanis yang
berasal dari akar kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya
memiliki arti yang berbeda
antara satu dengan yang lain. Kata “human” memiliki arti: (1) bersifat manusiawi, (2) berprikemanusiaan (baik budi, luhur budi,
dan sebagainya). Kata “humanis” memiliki arti: (1) orang yang mendambakan dan
memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan
azas-azas kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2)
penganut faham yang manganggap manusia sebagai obyek yang terpenting. Kata
“humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti: (1) aliran yang bertujuan
menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang
lebih baik, (2) paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting,
karena paham ini menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi,
sebagai sumber nilai terakhir, dan mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif
dan perkembangan moral individu secara rasional serta berarti tanpa acuan pada
konsep-konsep tentang adikodrati,[15]
dan (3) aliran zaman renaisans yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar
seluruh peradaban manusia. Kata “humanistik” memiliki arti: pertumbuhan rasa
kemanusiaan. Adapun kata “humanisasi” yang merupakan kata jadian, memiliki
arti: penumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.
Dari beberapa pengertian di atas yang menunjukkan perbedaan makna dari
peristilahan yang ada, terlihat bahwa kata “humanis” berasal dari kata “human”
yang mendapatkan akhiran “is”, yang memiliki arti: penganut ajaran humanisme,
yaitu suatu doktrin yang menekankan kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang
ideal. Seorang humanis adalah seserong yang selalu mendamba serta
memperjuangkan sebuah kehidupan yang ideal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Humanisme sendiri, selalu diatributkan pada sebuah corak pandangan filsafat
yang menempatkan manusia dalam kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya
ukuran segala sesuatu. Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran
sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan
mulai menampakkan nuansa sosial-politiknya. Karena itu, hampir semua mazhab
pemikiran politik, etika, seni, sastra dan sistem-sistem politik dikuasainya.
Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar kesemua aspek
kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme,
individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestantismenya Martin
Luther King (Kristen Protestan).[16]
Terkait dengan kata Islam yang berasal dari bahasa Arab, memiliki beberapa
makna. Pertama, Islam merupakan akar kata aslama-yuslimu-islaman,
yang berarti khadla’a atau inqaada, yaitu tunduk, pasrah,
menyerah, ketundukan, atau penyerahan diri.[17] Hal ini berarti bahwa segala sesuatu,
baik pengetahuan, sikap, prilaku maupun gaya hidup yang menunjukkan ketundukan
dan kepatuhan terhadap kehendak Tuhan, adalah Islam. Kedua, berasaldari
kata salima artinya selamat. Dalam hal ini, Islam merupakan jalan
keselamatan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat. Ketiga,
kata Islam berasal dari kata silmun yang berarti damai, yaitu damai
dengan Allah dalam artian taat dan tidak bermaksiat kepada Tuhan (hablun
minallah); damai dengan makhluk berarti memperlakukan alam semesta sebagai
makhluk Tuhan, berinteraksi secara santun, melindungi dan melestarikannya (hablun
minal ‘alam); dan damai dengan sesama berarti hidup rukun dengan sesama
manusia, berbuat baik tanpa memandang perbedaan agama, warna kulit, ras, seks,
suku, bahasa, dan bentuk perbedaan lainnya tanpa adanya eksploitasi dan
penindasan terhadap sebagian yang lain (hablun minannas).
Sedangkan untuk pengertian pendidikan di sini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[18] Sedangkan Ahmad Tafsir berpendapat
bahwa pendidikan adalah pengembangan pribadi dengan semua aspeknya,
dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi ialah yang mencakup
pendidikan oleh diri sendiri maupun oleh lingkungan, dan pendidikan oleh guru
dan orang lain. Adapun yang dimaksud semua aspek di sini yaitu mencakup
jasmani, akal dan hati.[19]
Dari definisi di atas Marimba memberikan suatu kesimpulan bahwa pendidikan
Islam sendiri adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar
ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[20]
Dengan demikian, arti dari pendidikan humanis adalah sebuah proses yang
dilakukan dalam pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam untuk
menumbuhkembangkan rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia) dengan mengedepankan
rasa persaudaraan antar sesama manusia sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama
mengemban amanat sebagai khalifah di muka bumi ini, yang berlandaskan kepada
wahyu, akal dan hati nurani. Sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman dan
damai tanpa adanya tindak kekerasan (violence) sebagaimana misi utama
Islam, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Karena itu, pendidikan humanis dalam bahasan yang merujuk pada para pemikir
pendidikan Islam ini, diarahkan untuk mengungkapkan konsep tentang pendidikan
yang dapat membentuk sikap manusia dalam lingkungannya.
F. Batasan Masalah
Agar tidak terjadi mis-undertansding dalam memahami hasil dari penulisan ini, maka penulis perlu menjelaskan
batasan pembahasannya. Sesungguhnya penulisan skripsi ini, akan mengungkapkan
konsep pendidikan humanis dalam perspekstif Islam. Perspekstif Islam ini
dimaksudkan untuk merujuk pada sumber Islam yang autentik, yaitu beberapa ayat
Al-Qur’an serta merujuk pada pemikir-pemikir muslim tentang hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan humanis.
Para
pemikir pendidikan kontemporer, yang concern dengan pendidikan Islam
dimaksudkan akan menjadi rujukan utama (term of reference) dalam
penulisan skripsi ini. Sebagai bahasan utama, pendidikan humanis akan dikaji
secara serius dan mendalam, sehingga dapat terdeskripsikan dengan sistematis
dan menghasilkan konsep yang diinginkan secara utuh tentang konsep pendidikan
humanis
G. Desain Penelitian
a. Metode Pembahasan
Metode
dikatakan dalam kamus “pedagogic” sebagai cara bekerja yang tetap dan yang
dipikirkan dengan seksama guna mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, metode (technical
method) itu menyandarkan diri kepada pikiran dan merupakan suatu pendekatan
kearah pemecahan persoalan atau problem solving attack.[21]
Jadi, metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai
tujuan tertentu.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada metode yang
dikembangkan oleh Jujun Suriasumantri[22] yaitu deskriptif analitis kritis.
Menurut Suriasumantri, metode ini merupakan pengembangan dari metode deskriptif
atau yang dikenal dengan sebutan deskriptif analitis, yang
mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat kritis.
Menurut Suriasumantri, metode ini kurang menonjolkan aspek kritis yang justru
sangat penting dalam mengembangkan sintesis. Karena itu, menurut Jujun
seharusnya yang lengkap adalah metode deskriptis analisis kritis atau disingkat
menjadi analitis kritis.
Metode analitis kritis bertujuan untuk mengkaji gagasan primer mengenai
suatu “ruang lingkup permasalahan” yang diperkaya oleh gagasan sekunder yang
relevan. Adapun fokus penulisan analitis kritis adalah mendeskripsikan,
membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya “dikonfrontasikan”
dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi berupa
perbandingan, hubungan dan pengembangan model.
Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu,
maka penulis hanya akan menggunakan beberapa metode yang relevan dengan
pembahasan yang antara lain :
1. Metode
Deduksi
Pengertian dari metode
dedukttif ialah cara berpikir yang berangkat dari pengetahuan atau hal-hal yang
bersifat umum kemudian ditarik menuju hal-hal yang bersifat khusus. Sebagaimana
dikatakan Sutrisno Hadi, adalah dengan deduksi kita berangkat dari pengetahuan
yang bersifat umum, dan bertitik tolak dari pengetahuan umum itu, kita hendak
memulai pekerjaan yang bersifat khusus.[23] Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu
hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi
baru atau anti tesis yang bersifat khusus.
2. Metode Induksi
Metode induksi yaitu suatu
cara yang menuntun seseorang untuk hal-hal yang bersifat khusus menuju konklusi
yang yang bersifat umum. Berpikir induktif, artinya berpikir yang berangkat
dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian
ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (interpretatif).
3. Metode Komparasi
Metode komparasi yaitu suatu metode yang digunakan untuk membandingkan
data-data yang ditarik kedalam konklusi baru. Komparasi sendiri berasal dari bahasa
Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan
persamaan dari dua konsep atau lebih. Dengan metode ini penulis bermaksud untuk menarik sebuah kongklusi dengan
cara membandingkan ide-ide, pendapat-pendapat dan pengertian agar mengetahui
persamaan dari ide dan perbedaan dari ide lainnya, kemudian dapat diambil
kongklusi baru. Menurut Winarno Surahmad, bahwa
metode komparatif adalah suatu penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan
meneliti hubungan lebih dari satu fenomena yang sejenis dengan menunjukkan
unsur-unsur persamaan dan unsur perbedaan.[24]
Dalam konteks ini peneliti banyak melakukan studi perbandingan antara
satu teori dengan teori yang lain, atau studi gagasan dengan gagasan yang lain
untuk disajikan suatu pemahaman baru yang lebih komprehensif.
4. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah
memaparkan keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh untuk dibahasakan
secara rinci. Jadi, dengan metode ini diharapkan adanya kesatuan mutlak antara
bahasa dan pikiran. Pemahaman baru dapat menjadi mantap apabila dibahasakan.
Pengertian yang dibahasakan menurut kekhususan dan kekongkritannya bisa menjadi
terbukti bagi pemahaman umum.
b. Sumber Data
Sesuai
dengan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akan akan
mengambil dan menyusun data yang berasal dari beberapa pendapat pemikir
pendidikan, baik yang berbentuk buku-buku, majalah, jurnal maupun artikel yang
ada, serta ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan pembahasan skripsi
c. Tehnik Pengumpulan Data
Sebelum
penulis menjelaskan tehnik pengumpulan data dari penulisan ini, perlu diketahui
bahwa penulisan ini bersifat kepustakaan (Library Research). Karena
bersifat Library Research maka dalam pengumpulan data penulis
menggunakan tehnik dokumenter, artinya data dikumpulkan dari dokumen-dokumen,
baik yang berbentuk buku, jurnal, majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya
yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis.
d. Tehnik Analisa Data
Analisa data merupakan tahap
terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan
dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang
benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah
dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses pengorganisasian
dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga
dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
dirumuskan oleh data.[25]
Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari
metode analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content
analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan
tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran
para tokoh pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik.
Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan
dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil
kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.[26]
Dengan menggunakan analisis isi yang
mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini
untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis)
dikaitkan dengan masalah-masalah pendidikan yang masih aktual untuk dibahas,
yang selanjutnya dipaparkan secara objektif dan sistematis.[27]
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan uraian secara jelas, maka penulis menyusun skripsi ini
menjadi lima bagian (bab), yang secara sistematis adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan,
dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang
skripsi ini, yang dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan,
dan manfaatnya, definisi operasional, batasan masalah, desain penulisan yang
dibagi menjadi empat bagian yaitu metode pembahasan, sumber data, tehnik
pengumpulan data, dan tehnik analisa data, serta terakhir adalah sistematika
pembahasan.
Bab II : Kajian teori, dimaksudkan untuk memberikan pra-wacana sebelum masuk
dalam pembahasan utama yakni bagaimana perspektif Islam tentang
pendidikan dan relevansinya dengan pendididkan humanis. Karena itu, sub bahasan
yang akan disajikan adalah seputar konsep pendidikan humanis yang meliputi
dasar dan tujuan pendidikan humanis, model pendidikan humanis, kurikulum
pendidikan humanis, serta pendidik dan peserta didik dalam pendidikan humanis.
Bab III :
Pembahasan utama tentang bagaimana perspektif Islam tentang humanis dan
hubungannya dengan konsep pendidikan Islam. Karena itu bab ini akan mengungkap
konsep humanis dalam perspektif Islam dengan mengacu kepada dalil naqli serta
pokok pemikiran para tokoh pendidikan Islam tentang pendidikan. Konsep
pendidikan Islam akan dilacak mulai dari akar yang dibangun dalam rangka
menuju pendidikan yang humanis sampai
pada alat atau proses yang akan dilakukan menuju pendidikan humanis tersebut
yakni dengan kerangka demokratisasi pendidikan. Di bab, ini penulis akan
memulai pembahasan tentang konsep manusia dan pendidikan dalam pandangan Islam
sebagai sebuah pijakan untuk mengetahui pandangan Islam tentang pendidikan yang
berwawasan kemanusiaan (humanis) dengan menjadikan Nabi saw sebagai uswah,
membahas pentingya pendidikan bagi manusia dengan mengacu kepada dalil naqli
maupun dalil aqli, dan membahas tentang upaya pendidikan dalam mengembangkan
potensi atau fitroh manusia, serta relevansinya dengan konsep pendidikan
humanis, yaitu pendidikan sebagai proses pemanusiaan yang mampu menghargai
segala bentuk perbedaan dalam masyarakat demokratis, sehingga benar-benar
tercipta suatu pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tanpa menafikan
nilai-nilai ketauhidan (ketuhanan) yang menjadi dasar (asas) dari Islam.
Bab IV : Membahas
karakteristik belajar dan pola hubungan interaktif antara guru dan siswa
sebagai bentuk implementasi dari konsep pendidikan humanis dalam proses belajar
mengajar, sebagaimana yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu.
Bab V : Kesimpulan, sekaligus penulis memberikan
saran-saran bagi praktisi pendidikan apa harus dilakukan berkenann dengan
humanisasi pendidikan.
[1] A. Syafi’I Ma’arif et. al., 1991. Pendidikan
Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm.
15.
[2] H.A.R. Tilaar, 2005. Manifesto
Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi
Kultural, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 119.
[3] Ibid, hlm.
112.
[4] Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional,diperbanyak oleh Penerbit Citra Umbara
Bandung, hlm. 76.
[5] Sulaeman Ibrahim, 2000. Pendidikan
Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir Intelektualisme Muslim,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 81.
[6] Ibid, hlm.
83-89.
[7] Prambudiyono, Reformasi: Empat Aspek
Budaya Nasional dalam Dunia Pendidikan, MPA 145/Oktober 1998, hlm. 28.
[8] Kartini Kartono, 1992. Pengantar Ilmu
Pendidikan: Apakah Pendidikan Masih Diperlukan, Bandung: Mandar Maju, hlm.
93.
[9] Abdul Munir Mulkhan, 2000, Dunia
Pendidikan sebagai Perang Kekerasan dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Yogyakarta:
PPIRM, The Asia Foundation bekerjasama dengan Pustaka Belajar, hlm. 35.
[10] Abdul Munir Mulkhan, 2000, Kearifan
Tradisional: Agama bagi Manusia atau Tuhan, Yogyakarta: UII Press, hlm.
198-199.
[11] Abdul Munir Mulkhan, 1998, Rekonstruksi
Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 111-112.
[12] QS. al- Qashash/28: 77.
[13] Abdul Munir Mulkhan, 2002, Nalar
Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, hlm. 180-188.
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
Pengembangan Bahasa, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 361.
[15] Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 295.
[16] Mahmud
Rajabi, 2006, Horison Manusia, Jakarta:
al-Huda, hlm. 31
[17] Abd. Rahman Assegaf, 2004, Pendidikan
Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara
Wacana, hlm. 147.
[22] Jujun S. Sumantri, 1998, Penelitian
Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa bekerjasama dengan
Pusjarlit Press, hlm. 41-61.
[23] Sutrisno Hadi, 1990. Metodologi
Research II, Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 47.
[24] Winarno Surahmad, 1994. Dasar dan
Tehnik Research, Pengantar Metologi Ilmiah, Bandung: CV. Tarsito, hlm. 125.
[25] Lexy J. Moleong, 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, hlm.
103.
[26] Ibid, hlm. 163.
[27] Noeng Muhadjir, 1989. Metode Penelitian Kualitatif, edisi III,
Yogyakarta: Rake Sorosin, hlm. 49.
Diatas hanyalah
abstrak untuk data skripsi lengkapnya anda bisa menghubungi e-mail
kami(alkhos.hasan77@@gmail.com) gratis nanti kami akan kirim ke emailnya jenengan
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer