SELAMAT DATANG

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

M.HASAN

M.HASAN
ALLAH AKAN MENGANGKAT DRAJAT ORANG ORANG YANG BER ILMU

PPMU

PPMU
SEMOGA ALLAH MELIMPAHKAN RAHMAT PADA PENGASUH PMMU AMIIN

PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar)

Sabtu, 10 Desember 2011

 
PENDIDIKAN HUMANIS
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar)

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat bahwa celah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini.
Komentar yang menyoroti mutu pendidikan sudah sejak lama dilontarkan oleh pengamat pendidikan. Meskipun mengacu pada indikator yang berbeda, mereka sependapat bahwa mutu pendidikan kita masih rendah. Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan memang belum dan tidak akan kunjung selesai, karena banyaknya variabel yang mempengaruhi mutu pendidikan. Mencari masalah tersebut agaknya seperti mengurai benang kusut yang sulit dicari ujung dan pangkalnya.
Pendidikan bukanlah merupakan suatu kegiatan rutin an sich atau pun hanya terpaku pada tujuan yang telah ditentukan semula, akan tetapi pendidikan harus melepaskan manusia dari kungkungan alamiah maupun kungkungan biologis. Habitus anak manusia merupakan habitus yang terbuka yang berkembang sesuai dengan perkembangan akal-budinya dan kemerdekaannya. Sebagai makhluk yang bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun terikat kepada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan manusiawi.
Pendidikan harus mampu menciptakan manusia-manusia yang siap dan eksis untuk hidup di tengah-tengah perubahan yang ada. Sehingga manusia tidak ikut lebur dalam arus yang menerpanya, malainkan mampu mengendalikan arus perubahan, kemana kehidupan sebuah masyarakat akan dikendalikan.
Bagaimana pun, pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun memuaskan.[1] Karena proses pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.[2]
Ada pandangan yang agak klasik dan menjadi pandangan wacana publik dikalangan ahli pendidikan, yaitu pandangan mengenai pendidikan sebagai proses humanisasi atau biasa disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Pemahaman terhadap konsep ini memerlukan renungan yang sangat mendalam, sebab apa yang dimaksud dengan proses pemanusiaan manusia tidak sekedar yang bersifat fisik, akan tetapi menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas yang mengitarinya. Sebagaimana yang dikatakan H.A.R. Tilaar, bahwa hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya.[3]
Hal ini sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yang berbunyi :
            “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”[4]
Namun hingga saat ini menurut Sulaeman, pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi  justeru sebaliknya yakni menambah rendahnya derajat dan martabat manusia. Eksistensi yang sebenarnya menjadi hak milik secara mutlak untuk survive dan mengendalikan hidup, ternyata hilang dan kabur bersama arus yang menerpanya. Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan situasi  sosio-historis dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang telah melanda negara jajahan-bukan Indonesia saja melainkan semua negara jajahan khususnya negara-negara Islam adalah dengan munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat  disebut sebagai “anak-anak yang tertipu”. Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan” ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya dan moralnya.[5]
Sehinga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya  melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya, mereka membuang jauh-jauh budaya yang humanis untuk diganti dengan budaya materialis dan hedonis, yang makna kebertahanannya tidak lagi terealisasikan dalam tindak dan perilaku sehari-harinya.[6]
Rangkaian uraian di atas menggambarkan bahwa pendidikan yang berlangsung sampai saat ini dapat dinilai belum mampu menyadarkan manusia akan dirinya. Sehingga pendidikan tidak dapat memberikan kontribusi kepada manusia untuk meningkatkan derajatnya yaitu tetap eksis dan berada di depan dalam membawa segala perubahan. Padahal pendidikan seharusnya telah menampakkan hasil yang memuaskan, tatkala manusia sudah semakin yakin bahwa pendidikan adalah institusi yang mampu membentuk karakter-karakter manusia yang ditandai dengan semakin tumbuh dan berkembangnya potensi dasar manusia tersebut. Sehingga manusia dapat mengenal dirinya sendiri, alam, dan Tuhannya. Hal ini dikarenakan potensi yang dimiliki manusia bukan hanya sekedar potensi dalam hal minat-bakat dan berpikir, tetapi yang lebih luas lagi yaitu potensi bermasyarakat dan beragama (ber-Tuhan).
Kondisi pendidikan yang belum mampu menjadi fasilitator menuju pengembangan potensi tersebut, diperparah lagi oleh sosial-politik yang mengitarinya. Pendidikan kita justru digunakan sebagai alat indoktrinasi berbagai kepentingan, baik kepentingan politik yang akhirnya menuju pada pelanggengan kekuasaan (status quo), ilmu pengetahuan dan teknologi yang melampaui batas sehingga menggeser dan tidak menghargai eksistensi manusia maupun kepentingan agama dengan sentimen-sentimennya untuk mengklaim dirinya sebagai satu-satunya agama yang benar dan menganggap agama lain salah tanpa disertai sikap inklusif dan pluralis, yang pada gilirannya menjadikan agama rawan konflik.
Hal tersebut diperparah lagi dengan budaya nasional yang kurang selaras apabila diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat menghambat untuk perkembangan pendidikan di Indonesia. Ada empat aspek budaya nasional yang tidak selaras tersebut dan perlu direformasi.[7] Pertama, prinsip kepatuhan total (principle of total obedience). Prinsip ini masih tinggi dipegang oleh para pendidik. Dalam prinsip ini, seorang murid harus patuh secara total terhadap perintah, tugas dan pernyataan guru yang bersangkutan, tanpa boleh membantah, berdebat atau mengelak. Akibatnya, sistem pendidikan seperti berlaku dalam garis komando militer. Ketika murid berbuat salah, ia akan menerima hukuman dan ganjaran tanpa bisa menolak.
Kedua, budaya tidak melontarkan pertanyaan atau berpikir menentang (unquestioning mind). Seorang murid dituntut tidak boleh tampak lebih pintar dari gurunya dalam penguasaan suatu materi pelajaran. Sehingga, ketika seorang murid mengetahui penjelasan yang disampaikan gurunya salah teori atau salah kutip, ia harus diam. Jika berani sok pintar lebih dari guru, maka sang guru akan merasa tersinggung dan menekan murid tersebut dengan pemberian niali tes yang tidak adil.
Ketiga, yang lebih tua mengetahui semuanya (elders know all). Bahwa orang yang lebih tua mengetahui banyak hal dan banyak ilmu. Kebanyakan orang Indonesia sungkan untuk membantah, berdebat dan berbeda pendapat dengan para guru, bos atau yang lebih tua, karena perasaan sungkan yang berlebihan. Kultur yang terkonstruk di masyarakat telah menjadikan manusia-manusia penakut dengan alasan etika dan kesopanan.
Keempat, guru tidak mungkin berbuat salah (teachers can do wrong). Prinsip ini diamini dengan adanya filosofi guru yaitu yang digugu dan ditiru. Ini karena guru dinilai merupakan figur teladan masyarakat. Sebagai figur ia tidak mungkin melakukan kesalahan atau kecerobohan.
Keempat aspek tersebut memang agak sulit dilepaskan dari insan pendidik dan juga dari masyarakat pada umumnya. Padahal jika kita memahami hakekat pendidikan, seperti yang dikemukakan H.A.R. Tilaar di atas, sebenarnya ada dua pemahaman tentang definisi pendidikan. Pertama, adalah proses pewarisan, penerusan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan masyarakat lingkungannya secara baku. Kedua, adalah sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh anak yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival
Adapun dua pemahaman di atas mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap praktek-praktek pendidikan, termasuk pendidikan agama. Sebab pewarisan seringkali diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan sebuah utopia tertentu yang bersifat statis. Sedangkan anggapan kedua lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam kontek lingkungan dan kurun waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri
Dalam pengamatan penulis, kedua pemahaman dan sekaligus orientasi pendidikan di atas tidak menjadi persoalan. Artinya, baik pemahaman pertama maupun kedua meskipun tidak dijalankan secara bersama-sama akan tetap membuahkan hasil yang memuaskan. Karena memang pendidikan juga harus diarahkan  pada pewarisan tradisi, terutama tradisi yang baik sekaligus diiringi sikap kritis. Tetapi jika keduanya selalu dipertentangkan, dan tidak dijalankan secara bersama-sama maka mengakibatkan kepincangan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal tujuan yang akan dicapai. Pada satu sisi, hanya bersifat penerusan suatu tradisi tanpa disertai wawasan untuk memecahkan persoalan hidup dan mencapai hidup, sedangkan sisi kedua, hanya mengandalkan skill untuk menciptakan sesuatu, sehingga anak tidak dapat mengatasi persoalan yang ada di depannya dan berkompetisi dalam kehidupannya, yang akhirnya menjadi “robot-robot” bernyawa.
Karena itu sudah saatnya dua pemahaman tentang pendidikan tersebut untuk dilebur menjadi satu dan dilaksanakan secara bersama-sama (integral). Sehingga antara pengetahuan tentang nilai-nilai yang ada dengan kemampuan untuk membuat sesuatu yang berguna dalam kehidupannya dan jiwa berpikir ke depan dapat terinternalisasi dalam diri seseorang.
Perlu dipahami, bahwa pendidikan pada dasarnya adalah kerja budaya, yang tidak hanya indentik dengan penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah. Namun pendidikan mencakup semua lingkup belajar yang lebih luas, yaitu bagaimana seorang anak melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang berubah. Dengan demikian, anak adalah aktor dan subyek yang melakukan akulturasi dan enkulturasi kebudayaannya dalam bersosialisasi dengan masyarakatnya. Sebagai subyek kebudayaannya, seorang anak tidak hanya berusaha mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasan masyarakat, tapi juga dalam proses itu adakalanya mempertanyakan, meragukan bahkan kalau perlu memberontak terhadap sesuatu yang mapan
Dalam kerangka inilah, Kartono mengajukan sebuah sistem demokrasi sebagai pilihan, baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Sehingga memunculkan kesadaran diri untuk berbangsa dan bernegara dan mampu membawa cita-cita modernisasi bangsa.[8]
Namun pendidikan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung didasarkan pada pola keseragaman (uniformitas), yang tidak menghargai keunikan anak manusia (pluralitas). Keunikan seorang atau sekelompok manusia dipandang sebagai suatu keanehan dan bahkan keburukan yang harus dihindari. Anggapan semacam inilah yang sebenarnya harus dihindarkan dalam dunia pendidikan.
Di lain sisi, dalam pandangan Mulkhan, sentralisasi pendidikan yang tejadi selama ini, menciptakan kesadaran atas nilai modernitas tentang keseragaman dan tidak berharganya keunikan manusia dan anak didik. Hal ini menyebabkan manusia kehilangan jati diri dan kepekaan sosialnya. Profesionalisme dan mutu keunggulan kemanusiaan lebih terkonsentrasi kekuasaan di Jakarta. Dunia pendidikan menjadi tergantung pada pusat kekuasaan yang menempatkan dan menjadikannya sebagai alat politik dan kebudayaan, bukan praktek politik dan kebudayaan itu sendiri.[9]
Selain itu, fenomena konflik, kekerasan, keberingasan dan kesadisan dalam semua kehidupan dewasa ini telah menunjukkan fenomena kemanusiaan yang lebih serius dalam peradaban modern. Menurut Mulkhan, manusia bukan hanya menghadapi keterasingan dan dehumanisasi modernitas tetapi hilangnya semangat kemanusiaan. Manusia kehilangan dunia kemanusiaannya. Hal ini bukan hanya diakibatkan karena rendahnya interaksi sesama, tetapi akibat kompleksitas interaksi yang artifisial (budaya meniru). Interaksi hubungan sosial menjadi suatu yang “terpaksa” dilakukan sebagai kebiasan yang rutin tanpa kesadaran rasa kemanusiaan yang mendalam.[10]
Sebuah prinsip yang harus dipegang dalam pendidikan khususnya pendidikan Islam yakni pengembangan belajar sebagai muslim baik bagi terdidik maupun pendidik. Setiap rangkaian belajar mengajar harusnya ditempatkan sebagai pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi atau internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana peserta didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya. Ketaqwaan dan keshalehan bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat. Karena itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dan realitas universum.[11]
Karena pendidikan (Islam) berupaya membawa manusia pada penyadaran kehidupan bermasyarakat dan bertuhan. Manusia seharusnya disibukkan pada kehidupan yang kongkrit (dunia) tanpa melupakan yang abstrak (akhirat), suatu kehidupan yang seimbang menuju sa’adah al darain (kebahagiaan dunia akhirat) tersebut.[12] Manusia harus memikirkan siapa dirinya, lingkungannya dan Tuhannya beserta relasi-relasi yang ditimbulkan atas kebertuhananya itu. Bukan hanya mengurusi dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya atau hanya memikirkan dan mengurusi dirinya dan manusia lain dengan melupakan Tuhan atau juga hanya mengurus Tuhan sehingga melupakan kewajiban dunianya. Manusia harus sadar bahwa dalam dirinya terdapat potensi yang besar untuk melakukan tindakan yang kejam dan tidak manusiawi. Apabila hal ini tidak diikuti dengan kesadaran bertuhan maka tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di dunia ini, akankah dunia tetap bertahan dengan prilaku menusia yang senantiasa menggerogotinya?
Analisa yang diberikan Mulkhan tentang kelalaian dalam proses pendidikan (Islam) barang kali bisa memberikan titik terang, menurutnya hal tersebut disebabkan oleh pijakan-pijakan yang digunakannya. Pendidikan seharusnya melihat dan mengambil pengalaman dari proses kehidupan-kehidupan yang berlangsung. Selama ini, masyarakat dihinggapi sebuah asumsi bahwa kehidupan masyarakat tradisional dianggap tidak mampu memecahkan problematika kehidupan. Karenanya, masyarakat kemudian menggantinya dengan modernitas, yang justru pada saat ini kita merasakan kebobrokannya karena modernitas telah menempatkan manusia jauh dari dirinya, sebagai akibat pola berpikir yang sangat materialistis dan logika materialisme yang menjadi ciri modernitas tersebut.
Mulkhan sangat menyayangkan, bahwa basis tradisional yang sarat dengan nilai-nilai demokratisasi kini diganti dengan nilai-nilai modernitas tanpa pijakan yang manusiawi, yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari dirinya dan lingkungan serta Tuhannya. Sebenarnya, kesadaran tradisional lebih mendorong tumbuhnya keunikan kebudayaan yang lebih manusiawi. Pendidikan sebagai praktek modernisasi menjadi praktek dehumanisasi dan penindasan kemanusiaan. Modernitas telah membelah kesatuan dan memutus mata-rantai kontinum realitas materil hingga spiritual-metafisik.[13]
Dalam menghadapi situasi demikianlah, kemudian Mulkhan banyak memberikan sorotan dan kritik terhadap proses pendidikan yang berlangsung dewasa ini. Mulkhan menginginkan proses belajar mengajar yang diarahkan pada tumbuhnya kreatifitas dan kemandirian anak didik dalam menghadapi segala perubahan dengan upaya menempatkan pendidikan sebagai sebuah proses pemanusiaan manusia. Karena itu menurutnya, pendidikan harus didasarkan kepada keunikan personalitas anak manusia.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap pikiran-pikiran para praktisi pendidikan yang dituangkannya dalam beberapa buku dan artikel yang banyak menyorot berbagai persoalan kontemporer yang dilandaskan pada kerangka kemanusiaan atau pemuliaan manusia yang didasarkan kepada potensi yang dimilikinya. serta bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk pluralitas sebagai sebuah keniscayaan yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun tidak. Karenanya, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang konsep pendidikan yang humanis. Sehingga memberi judul penulisan ini dengan judul: PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM  (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar)
B. Fokus Penelitian
            Dari uraian di atas, maka focus masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep pendidikan humanis?
2.      Bagaimana perspektif Islam tentang konsep pendidikan humanis?
3.      Bagaiamana implementasinya dalam proses belajar mengajar?

C. Tujuan Penelitian
            Tujuan dalam penulisan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan secara umum adalah mengungkapkan konsep pendidikan humanis, sekaligus mendeskripsikan pemikiran para tokoh pendidikan, baik Barat maupun Islam, tentang pendidikan yang humanis. Sedangkan tujuannya secara khusus adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui konsep pendidikan humanis sebagai upaya memanusiakan manusia
2.      Untuk mengetahui pendidikan humanis dalam perspektif Islam yang dikaitkan dengan dunia pendidikan Islam
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis berkaitan dengan penulisan skripsi ini, antara lain adalah:
1.      Kajian tentang pendidikan yang humanistik ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran terhadap dunia pendidikan terutama yang berkaitan dengan upaya mengembalikan pendidikan jiwa yang semestinya, yaitu pendidikan sebagai upaya pembebasan dan pemulyaan manusia.
2.      Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus kualitas sumber daya manusia. Karena memang, pada hakekatnya pendidikan dirancang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia, sehingga sumberdaya manusia menjadi berkualitas. Sebagai upaya penumbuhan potensi peserta didik, maka diperlukan sebuah konsep pendidikan yang mampu merealisasikan yaitu dengan konsep humanisasi pendidikan. Karena itu penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan yang humanistik.
3.      Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat luas, berupa informasi secara teoritik-historis tentang perkembangan pendidikan dan pembaharuannya dalam upaya menjawab tantangan masa depan umat manusia
E. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan skripsi ini ini, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional. Pertama adalah kata “humanis,” dan kedua adalah kata “Islam”, dalam hal ini pembahasannya lebih ditekankan pada pendidikan Islam supaya ada sinergitas pembahasan dan lebih spesifik, sesuai pokok pembahasan, yaitu masalah pendidikan.
Dalam kamus besar Indonesia,[14] dapat kita jumpai humanis yang berasal dari akar kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kata “human” memiliki arti: (1) bersifat manusiawi, (2) berprikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata “humanis” memiliki arti: (1) orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan azas-azas kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2) penganut faham yang manganggap manusia sebagai obyek yang terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti: (1) aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2) paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, karena paham ini menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, dan mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional serta berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang adikodrati,[15] dan (3) aliran zaman renaisans yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh peradaban manusia. Kata “humanistik” memiliki arti: pertumbuhan rasa kemanusiaan. Adapun kata “humanisasi” yang merupakan kata jadian, memiliki arti: penumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.
Dari beberapa pengertian di atas yang menunjukkan perbedaan makna dari peristilahan yang ada, terlihat bahwa kata “humanis” berasal dari kata “human” yang mendapatkan akhiran “is”, yang memiliki arti: penganut ajaran humanisme, yaitu suatu doktrin yang menekankan kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang ideal. Seorang humanis adalah seserong yang selalu mendamba serta memperjuangkan sebuah kehidupan yang ideal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Humanisme sendiri, selalu diatributkan pada sebuah corak pandangan filsafat yang menempatkan manusia dalam kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya ukuran segala sesuatu. Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai menampakkan nuansa sosial-politiknya. Karena itu, hampir semua mazhab pemikiran politik, etika, seni, sastra dan sistem-sistem politik dikuasainya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar kesemua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestantismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).[16]
Terkait dengan kata Islam yang berasal dari bahasa Arab, memiliki beberapa makna. Pertama, Islam merupakan akar kata aslama-yuslimu-islaman, yang berarti khadla’a atau inqaada, yaitu tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan, atau penyerahan diri.[17] Hal ini berarti bahwa segala sesuatu, baik pengetahuan, sikap, prilaku maupun gaya hidup yang menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kehendak Tuhan, adalah Islam. Kedua, berasaldari kata salima artinya selamat. Dalam hal ini, Islam merupakan jalan keselamatan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat. Ketiga, kata Islam berasal dari kata silmun yang berarti damai, yaitu damai dengan Allah dalam artian taat dan tidak bermaksiat kepada Tuhan (hablun minallah); damai dengan makhluk berarti memperlakukan alam semesta sebagai makhluk Tuhan, berinteraksi secara santun, melindungi dan melestarikannya (hablun minal ‘alam); dan damai dengan sesama berarti hidup rukun dengan sesama manusia, berbuat baik tanpa memandang perbedaan agama, warna kulit, ras, seks, suku, bahasa, dan bentuk perbedaan lainnya tanpa adanya eksploitasi dan penindasan terhadap sebagian yang lain (hablun minannas).
Sedangkan untuk pengertian pendidikan di sini sebagaimana yang diungkapkan oleh Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[18] Sedangkan Ahmad Tafsir berpendapat bahwa pendidikan adalah pengembangan pribadi dengan semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri maupun oleh lingkungan, dan pendidikan oleh guru dan orang lain. Adapun yang dimaksud semua aspek di sini yaitu mencakup jasmani, akal dan hati.[19]
Dari definisi di atas Marimba memberikan suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam sendiri adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[20]
Dengan demikian, arti dari pendidikan humanis adalah sebuah proses yang dilakukan dalam pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam untuk menumbuhkembangkan rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia) dengan mengedepankan rasa persaudaraan antar sesama manusia sebagai makhluk Tuhan yang sama-sama mengemban amanat sebagai khalifah di muka bumi ini, yang berlandaskan kepada wahyu, akal dan hati nurani. Sehingga tercipta suatu kehidupan yang aman dan damai tanpa adanya tindak kekerasan (violence) sebagaimana misi utama Islam, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Karena itu, pendidikan humanis dalam bahasan yang merujuk pada para pemikir pendidikan Islam ini, diarahkan untuk mengungkapkan konsep tentang pendidikan yang dapat membentuk sikap manusia dalam lingkungannya.
F. Batasan Masalah
Agar tidak terjadi mis-undertansding dalam  memahami hasil dari penulisan ini, maka penulis perlu menjelaskan batasan pembahasannya. Sesungguhnya penulisan skripsi ini, akan mengungkapkan konsep pendidikan humanis dalam perspekstif Islam. Perspekstif Islam ini dimaksudkan untuk merujuk pada sumber Islam yang autentik, yaitu beberapa ayat Al-Qur’an serta merujuk pada pemikir-pemikir muslim tentang hal-hal yang berkaitan dengan  pendidikan humanis.
            Para pemikir pendidikan kontemporer, yang concern dengan pendidikan Islam dimaksudkan akan menjadi rujukan utama (term of reference) dalam penulisan skripsi ini. Sebagai bahasan utama, pendidikan humanis akan dikaji secara serius dan mendalam, sehingga dapat terdeskripsikan dengan sistematis dan menghasilkan konsep yang diinginkan secara utuh tentang konsep pendidikan humanis
G. Desain Penelitian
a. Metode Pembahasan
Metode dikatakan dalam kamus “pedagogic” sebagai cara bekerja yang tetap dan yang dipikirkan dengan seksama guna mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, metode (technical method) itu menyandarkan diri kepada pikiran dan merupakan suatu pendekatan kearah pemecahan persoalan atau problem solving attack.[21] Jadi, metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada metode yang dikembangkan oleh Jujun Suriasumantri[22] yaitu deskriptif analitis kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini merupakan pengembangan dari metode deskriptif atau yang dikenal dengan sebutan deskriptif analitis, yang mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini kurang menonjolkan aspek kritis yang justru sangat penting dalam mengembangkan sintesis. Karena itu, menurut Jujun seharusnya yang lengkap adalah metode deskriptis analisis kritis atau disingkat menjadi analitis kritis.
Metode analitis kritis bertujuan untuk mengkaji gagasan primer mengenai suatu “ruang lingkup permasalahan” yang diperkaya oleh gagasan sekunder yang relevan. Adapun fokus penulisan analitis kritis adalah mendeskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi berupa perbandingan, hubungan dan pengembangan model.
Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis hanya akan menggunakan beberapa metode yang relevan dengan pembahasan yang antara lain :
1. Metode Deduksi
Pengertian dari metode dedukttif ialah cara berpikir yang berangkat dari pengetahuan atau hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik menuju hal-hal yang bersifat khusus. Sebagaimana dikatakan Sutrisno Hadi, adalah dengan deduksi kita berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum, dan bertitik tolak dari pengetahuan umum itu, kita hendak memulai pekerjaan yang bersifat khusus.[23] Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi baru atau anti tesis yang bersifat khusus.
2. Metode Induksi
Metode induksi yaitu suatu cara yang menuntun seseorang untuk hal-hal yang bersifat khusus menuju konklusi yang yang bersifat umum. Berpikir induktif, artinya berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (interpretatif).
3. Metode Komparasi
Metode komparasi yaitu suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik kedalam konklusi baru. Komparasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih. Dengan metode ini penulis bermaksud untuk menarik sebuah kongklusi dengan cara membandingkan ide-ide, pendapat-pendapat dan pengertian agar mengetahui persamaan dari ide dan perbedaan dari ide lainnya, kemudian dapat diambil kongklusi baru. Menurut Winarno Surahmad, bahwa metode komparatif adalah suatu penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan meneliti hubungan lebih dari satu fenomena yang sejenis dengan menunjukkan unsur-unsur persamaan dan unsur perbedaan.[24] Dalam konteks ini peneliti banyak melakukan studi perbandingan antara satu teori dengan teori yang lain, atau studi gagasan dengan gagasan yang lain untuk disajikan suatu pemahaman baru yang lebih komprehensif.
4. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah memaparkan keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh untuk dibahasakan secara rinci. Jadi, dengan metode ini diharapkan adanya kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran. Pemahaman baru dapat menjadi mantap apabila dibahasakan. Pengertian yang dibahasakan menurut kekhususan dan kekongkritannya bisa menjadi terbukti bagi pemahaman umum.
b. Sumber Data
Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akan akan mengambil dan menyusun data yang berasal dari beberapa pendapat pemikir pendidikan, baik yang berbentuk buku-buku, majalah, jurnal maupun artikel yang ada, serta ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan pembahasan skripsi
c. Tehnik Pengumpulan Data
Sebelum penulis menjelaskan tehnik pengumpulan data dari penulisan ini, perlu diketahui bahwa penulisan ini bersifat kepustakaan (Library Research). Karena bersifat Library Research maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan tehnik dokumenter, artinya data dikumpulkan dari dokumen-dokumen, baik yang berbentuk buku, jurnal, majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis.
d. Tehnik Analisa Data
Analisa data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.[25]
            Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.[26]
Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara objektif dan sistematis.[27]
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan uraian secara jelas, maka penulis menyusun skripsi ini menjadi lima bagian (bab), yang secara sistematis adalah sebagai berikut:
Bab I :    Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang skripsi ini, yang dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaatnya, definisi operasional, batasan masalah, desain penulisan yang dibagi menjadi empat bagian yaitu metode pembahasan, sumber data, tehnik pengumpulan data, dan tehnik analisa data, serta terakhir adalah sistematika pembahasan.
Bab II : Kajian teori, dimaksudkan untuk memberikan pra-wacana sebelum masuk dalam pembahasan utama yakni bagaimana perspektif Islam tentang pendidikan dan relevansinya dengan pendididkan humanis. Karena itu, sub bahasan yang akan disajikan adalah seputar konsep pendidikan humanis yang meliputi dasar dan tujuan pendidikan humanis, model pendidikan humanis, kurikulum pendidikan humanis, serta pendidik dan peserta didik dalam pendidikan humanis.
Bab III : Pembahasan utama tentang bagaimana perspektif Islam tentang humanis dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam. Karena itu bab ini akan mengungkap konsep humanis dalam perspektif Islam dengan mengacu kepada dalil naqli serta pokok pemikiran para tokoh pendidikan Islam tentang pendidikan. Konsep pendidikan Islam akan dilacak mulai dari akar yang dibangun dalam rangka menuju  pendidikan yang humanis sampai pada alat atau proses yang akan dilakukan menuju pendidikan humanis tersebut yakni dengan kerangka demokratisasi pendidikan. Di bab, ini penulis akan memulai pembahasan tentang konsep manusia dan pendidikan dalam pandangan Islam sebagai sebuah pijakan untuk mengetahui pandangan Islam tentang pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanis) dengan menjadikan Nabi saw sebagai uswah, membahas pentingya pendidikan bagi manusia dengan mengacu kepada dalil naqli maupun dalil aqli, dan membahas tentang upaya pendidikan dalam mengembangkan potensi atau fitroh manusia, serta relevansinya dengan konsep pendidikan humanis, yaitu pendidikan sebagai proses pemanusiaan yang mampu menghargai segala bentuk perbedaan dalam masyarakat demokratis, sehingga benar-benar tercipta suatu pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tanpa menafikan nilai-nilai ketauhidan (ketuhanan) yang menjadi dasar (asas) dari Islam.
Bab IV : Membahas karakteristik belajar dan pola hubungan interaktif antara guru dan siswa sebagai bentuk implementasi dari konsep pendidikan humanis dalam proses belajar mengajar, sebagaimana yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu.
Bab V : Kesimpulan, sekaligus penulis memberikan saran-saran bagi praktisi pendidikan apa harus dilakukan berkenann dengan humanisasi pendidikan.


[1] A. Syafi’I Ma’arif et. al., 1991. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm. 15.
[2] H.A.R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 119.
[3] Ibid, hlm. 112.
[4] Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,diperbanyak oleh Penerbit Citra Umbara Bandung, hlm. 76.
[5] Sulaeman Ibrahim, 2000. Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir Intelektualisme Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 81.
[6] Ibid, hlm. 83-89.
[7] Prambudiyono, Reformasi: Empat Aspek Budaya Nasional dalam Dunia Pendidikan, MPA 145/Oktober 1998, hlm. 28.
[8] Kartini Kartono, 1992. Pengantar Ilmu Pendidikan: Apakah Pendidikan Masih Diperlukan, Bandung: Mandar Maju, hlm. 93.
[9] Abdul Munir Mulkhan, 2000, Dunia Pendidikan sebagai Perang Kekerasan dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Yogyakarta: PPIRM, The Asia Foundation bekerjasama dengan Pustaka Belajar, hlm. 35.
[10] Abdul Munir Mulkhan, 2000, Kearifan Tradisional: Agama bagi Manusia atau Tuhan, Yogyakarta: UII Press, hlm. 198-199.
[11] Abdul Munir Mulkhan, 1998, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 111-112.
[12] QS. al- Qashash/28: 77.
[13] Abdul Munir Mulkhan, 2002, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, hlm. 180-188.
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 361.
[15] Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 295.
[16] Mahmud Rajabi, 2006, Horison Manusia, Jakarta: al-Huda, hlm. 31
[17] Abd. Rahman Assegaf, 2004, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 147.
[18] Ahmad D. Marimba, 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Ma’arif,     hlm. 19.
[19] Ahmad Tafsir, 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya,        hlm. 26.
[20] Ahmad D. Marimba, Loc. Cit.
[21] Depag RI, 1975,  IkhtisarTentang Research, hlm. 8.
[22] Jujun S. Sumantri, 1998, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit Press, hlm. 41-61.
[23] Sutrisno Hadi, 1990. Metodologi Research II, Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 47.
[24] Winarno Surahmad, 1994. Dasar dan Tehnik Research, Pengantar Metologi Ilmiah, Bandung: CV. Tarsito, hlm. 125.
[25] Lexy J. Moleong, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya,      hlm. 103.
[26] Ibid, hlm. 163.
[27] Noeng Muhadjir, 1989.  Metode Penelitian Kualitatif, edisi III, Yogyakarta: Rake Sorosin, hlm. 49.





Diatas hanyalah abstrak untuk data skripsi lengkapnya anda bisa menghubungi e-mail kami(alkhos.hasan77@@gmail.com) gratis nanti kami akan kirim ke emailnya jenengan



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer