SELAMAT DATANG

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

M.HASAN

M.HASAN
ALLAH AKAN MENGANGKAT DRAJAT ORANG ORANG YANG BER ILMU

PPMU

PPMU
SEMOGA ALLAH MELIMPAHKAN RAHMAT PADA PENGASUH PMMU AMIIN

PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI INDIVIDU

Jumat, 08 Juli 2011

PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI INDIVIDU:
KAJIAN EKONOMI PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Pendidikan dapat dikatakan sebagai proses pemberdayaan, yaitu proses untuk mengungkapkan potensi yang ada pada manusia sebagai individu, yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada keberdayaan masyarakat lokal, kepada bangsanya, dan pada akhirnya pada masyarakat global. Dengan demikian pendidikan perlu diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar mampu mandiri. Setiap anak didik perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti konsep, prinsip, kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan. Inilah makna pendidikan yang harus senantiasa dipegangi oleh para pendidik, yaitu mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dalam kamus Webster’s New Wordl Dictionary , sebagaimana dikutip oleh Nanang Fattah, pendidikan dirumuskan sebagai proses pengembangan dan latihan yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan kepribadian (character), terutama yang dilakukan dalam suatu bentuk formula (per sekolahan) kegiatan pendidikan mencakup proses dalam menghasilkan (production) dan transfer (distribution) ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh individu atau organisasi belajar (learning organization).
Berbicara lebih lanjut tentang pendidikan dapat melibatkan berbagai aspek sudut pandang.Ada yang memandang pendidikan dari sudut filsafat, maka lahirlah Filsafat Pendidikan. Ada yang memandang pendidikan dari sudut manajemen, maka lahirlah Manajemen Pendidikan. Ada yang memandang pendidikan dari sudut teologi maka lahirlah Teologi Pendidikan, dan ada pula yang memandang pendidikan dari sudut ekonomi, maka muncul pula kajian Ekonomi Pendidikan.
Ekonomi pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari ilmu ekonomi yang merupakan hal yang tak terpisah dari ilmu ekonomi sumber daya manusia untuk pembangunan nasional. Elchanan Cohn yang dikutip oleh Nanang Fattah mendefinisikan ekonomi pendidikan sebagai,”suatu studi tentang bagaimana manusia, baik secara perorangan maupun di dalam kelompok masyarakatnya membuat keputusan dalam rangka mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas agar dapat menghasilkan berbagai bentuk pendidikan dan latihan, pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan, pendapat, sikap dan nilai-nilai khususnya melalui pendidikan formal , serta bagaimana mendiskusikannya secara merata (equal) dan adil (equality) di antara berbagai kelompok masyarakat.”
Dari beberapa pemikiran di atas jelas tergambar bahwa pengertian pendidikan maupun ekonomi pendidikan berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM). Di mana persoalan SDM ini merupakan persoalan setiap bangsa. Maknanya bagi bangsa yang ingin maju dan unggul harus menyiapkan SDM nya baik secara individu maupun masyarakat menjadi SDM yang unggul pula. Dan ini tentunya tidak akan terlepas dari peran pendidikan. Karena pendidikan merupakan wahana yang paling strategis untuk mempersiapkan individu dan masyarakat ke arah yang diinginkan oleh setiap bangsa atau negara. Dengan demikian jika bangsa kita ingin menjadi bangsa yang maju dan unggul, tidak bisa tidak harus mempersiapkan SDM yang unggul atau berkualitas pula. Dan sebagai konsekwensinya pendidikan harus dipandang sebagai usaha bagaimana Negara memberikan pelayanan kepada warganya untuk siap menyonsong hari depan yang lebih baik. Dan ini mengandung arti pendidikan merupakan investasi, oleh karena itu lembaga penyelenggara pendidikan harus memikirkan efisiensi dan efektivitas dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Sejalan dengan pernyataan di atas tepat sekali pribahasa Cina yang mengatakan:”Jika anda berencana untuk satu tahun, tanamlah biji-bijian ; Jika anda berencana sepuluh tahun , tanamlah pepohonan; Jika anda berencana untuk seribu tahun, tanamlah manusia.” Dengan demikian, melalui pendidikan manusia “ditanam” dan dengan pendidikan pula masa depan dibangun.
Makalah ini akan berbicara tentang Pendidikan Sebagai Investasi Individu, namun sebelum topik inti dibahas, terlebih dahulu dibahas pengertian investasi dan peranan pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami isi makalah dan sebagai “jalan masuk” kepada inti pembahasan. Dengan demikian sistematika pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:

A. Pendahuluan
B. Pengertian Investasi
C. Peranan Pendidikan
D. Pendidikan Sebagai Investasi Individu
E. Penutup.
B. Pengertian Investasi
Kata investasi berasal dari bahasa Inggeris investment yang berarti penanaman (uang, modal). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan arti investasi sebagai berikut: 1.Penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan; 2. Jumlah uang atau modal yang ditanam. Sedangkan modal diartikan dengan: 1.Uang yang dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dsb; harta benda (uang,barang, dsb) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan dan sebagainya. 2. Barang yang dipergunakan sebagai dasar atau bekal untuk bekerja (berjuang dsb).
Di antara klasifikasi modal yang dijelaskan, juga terdapat modal manusiawi yang berarti bentuk modal yang berupa keterampilan dan kecakapan.
Mengacu pada pengertian investasi yang dikemukakan di atas, jelas bahwa investasi tidak hanya menyangkut dengan uang sebagai modal utama untuk menghasilkan keuntungan di masa depan, tetapi juga mencakup SDM yang berupa keterampilan dan kecakapan yang dimiliki seseorang. Pengertian investasi ini sangat relevan dengan pendidikan, di mana dengan adanya pendidikan, keterampilan dan kecakapan seseorang akan semakin baik dan bertambah.
Sementara itu Nanang Fattah dengan mengutip Cohn (1979) mengartikan investasi sebagai,”upaya untuk meningkatkan nilai tambah barang ataupun jasa di kemudian hari dengan mengorbankan nilai konsumsi sekarang.” Dengan penjelasan ini dapat dimengerti bahwa seseorang yang berinvestasi melalui pendidikan akan merasakan atau memetik manfaatnya dikemudian hari atau di masa depan. Dan seseorang itu harus tahan berkorban dan “mengeyampingkan” kesenangannya atau keinginannya untuk beberapa saat sesuai dengan kondisi yang ditempuhnya. Contohnya seperti kita sekarang yang sedang menjalani pendidikan S2. Tidak sedikit pengorbanan yang dikeluarkan, sedang “buah” yang akan dipetik masih belum kelihatan.
C. Peranan Pendidikan

Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial, maupun sebagai bangsa. Pendidikan telah terbukti mampu mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan karunia Allah Swt., serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kehidupan manusia semakin beradab.
John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Malik Fajar, mengemukakan bahwa pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sains dan teknologi, menekan dan mengurang kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, serta peningkatan kualitas peradaban pada umumnya. Selanjutnya dikemukakan juga oleh John Vayse bahwa sejumlah besar dari apa yang kita ketahui diperoleh dari proses belajar secara formal di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).
Berdasarkan pandangan di atas, Cristope J. Lucas begitu yakin bahwa pendidikan menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial demi menghadapi perubahan di masa depan. Sementara itu John Dewey berpendapat bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup (a neccesity of life), sebagai bimbingan (a direction), sebagai sarana pertumbuhan(as growt), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Pendidikan mengandung misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi.
Uraian di atas menggambarkan bahwa pendidikan amat berperan dalam mengembangkan potensi individu dan masyarakat baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan juga amat berperan dalam pertumbuhan ekonomi, sains dan teknologi. Lebih dari itu, pendidikan juga amat berperan dalam penyiapan SDM yang berkualitas untuk menghadapi hidup di masa depan. Dengan demikian pendidikan harus bersifat futuristik.
Sejalan dengan pendidikan harus berorientasi masa depan (futuristik), tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib demikian, “didiklah anak-anakmu, sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, dan bukan untuk zamammu.” Oleh karena itu peranan pendidikan dalam Islam akan melahirkan wajah-wajah individu dan masyarakat Qur’ani di masa depan sebagai berikut:
1.Wajah kekeluargaan dan persaudaraan yang menumbuhkan sikap egaliter (QS 49:10,11,13).
2. Wajah yang penuh kemuliaan sebagai makhluk yang berakal dan dimuliakan (QS 8:4; 16:70;17:23;25:72;33:34;49:13:56:77;69:40;89:17;96:3).
3. Wajah yang bercahaya yang menumbuhkan jalan terang bagi lingkungannya (QS 5:15;6:122;4:174;14:1;24:35;33:46;39:22;66:8).
4. Wajah yang kreatif yang menumbuhkan gagasan baru dan bermanfaat bagi kemanusiaan (QS 23:14).
5. Wajah yang penuh keterbukaan yang menumbuhkan prestasi kerja dan pengabdian mendahului prestise (QS 6:132).
6. Wajah yang monokotomis yang menubuhkan integralisme sistem ilahiah ke dalam sistem insaniah dan sisitem kauniah (QS 2:25,38;3:9;4:135).
7. Wajah keseimbangan yang menumbuhkan kebijakan dan kearifan dalam pengambilan keputusan (QS 55:78).
8. Wajah kasih sayang yang menumbuhkan karakter dan aksi solidaritas dan sinergi (QS 7:151,156, dan seterusnya;21:107;17:24;30:21;31:3;48:29;80:31;90:17).
9. Wajah altruistik yang menumbuhkan rasa kebersamaan dalam mementingkan orang lain (QS 59:9).
10. Wajah demokratis yang menumbuhkan rasa penghargaan dan penghormatan terhadap persepsi dan aspirasi yang berbeda (QS 9:60;59:7).
11. Wajah keadilan yang menumbuhkan persamaan hak serta perolehan (QS 5:8 dan seterusnya).
12. Wajah disiplin yang menumbuhkan keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan (QS 2:187 dan seterusnya; 24:51;59:18).
13. Wajah manusiawi yang menumbuhkan usaha menghindarkan diri dari dominasi dan eksploitasi (QS 2:256;40:8,9).
14. Wajah yang penuh kesederhanaan yang menumbuhkan rasa dan karsa menjauhkan diri dari pemborosan dan kemubaziran (QS 2:165;3:15,17,185 dan seterusnya;4:135 dan seterusnya;7:131;79:38,39).
15. Wajah yang intelektual atau terpelajar yang menumbuhkan daya imajinasi dan daya cipta (QS 58:11).
16. Wajah yang bernilai tambah (value added) (QS 22:78;53:39;59:18 dan seterusnya).
Karena untuk melahirkan SDM yang berkualitas di masa depan bukanlah pekerjaan ringan dan mudah, tentunya dibutuhkan guru atau pendidik yang berkemampuan tinggi dalam transfer of heart, transfer of head, dan transfer of hand kepada anak didik dan lingkungannya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas terlihat bahwa posisi pendidikan sangat strategis dalam mewujudkan SDM yang dicita-citakan. Posisi strategis pendidikan ini menurut Harold G. Shane , karena pendidikan memiliki empat potensi yang secara tegas signifikan dengan kehidupan masa depan.Pertama,pendidikan menyediakan wahana yang telah teruji untuk implementasi nilai-nilai masyarakat yang berubah, hasrat masyarakat yang muncul dan menimbulkan nilai-nilai baru. Sekolah tidak menciptakan hari esok tetapi dapat mencerminkan kebudayaan yang berubah dan menyiapkan anak-anak untuk berperan serta secara lebih efektif dengan usaha secara terus menerus untuk mendapatkan jalan hidup yang baik. Kedua, pendidikan dapat dipakai untuk menanggulangi masalah-masalah sosial tertentu. Ketiga, pendidikan telah memperlihatkan kemampuan yang tinggi untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru. Dan keempat, pendidikan merupakan cara terbaik yang dapat ditempuh masyarakat untuk membimbing perkembangan manusia, sehingga pengalaman dari dalam berkembang pada setiap anak dan karena itu ia terdorong untuk memberikan konsentrasi pada kebudayaan manusia yang lebih baik serta dapat dikembangkan dalam suasana psikologis yang baik pula.
Pakar lain, John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning, mengidentifikasi peran pendidikan sebagaimana dikutip oleh Zamroni sebagai berikut: a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.
Mencermati apa yang dikemukakan John C Bock di atas, bahwa peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan, sedangkan dua peran yang disebut kemudian merupakan fungsi ekonomi. Pendapat kedua pakar yang disebutkan di atas, Harold G. Shane dan John C Bock, tampak saling melengkapi tentang peran pendidikan yang dibahas dalam makalah ini.
Sementara itu, Ratna Megawangi dkk, mengidentifikasi 3 (tiga)hal yang dapat dikatakan sebagai peran pendidikan, yaitu:
1. Menyiapkan individu sebagai Lifelong Learners (Pembelajar Sejati)
Abad ke-21 ditandai oleh perubahan yang begitu cepat dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan laju perubahan ini akan jauh lebih cepat prosesnya dibandingkan dengan abad sebelumnya. Agar dapat beradabtasi dengan lingkungan yang terus berubah, manusia harus mampu belajar suatu hal yang baru dengan cepat, kreatif dalam mencari solusi masalah, serta selalu mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar. Dengan demikian sekolah harus mampu mempersiapkan siswanya untuk menjadi pembelajar sejati.
Manusia pembelajar adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar (proses mengubah tingkah laku menuju kondisi yang lebih baik) sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Sudarwan Danim menyebutkan 5 pilar manusia pembelajar sebagai berikut:
a. Rasa ingin tahu
b. Optimisme
c. Keikhlasan
d. Konsistensi
e. Pandangan visioner.

2. Menyiapkan individu yang mempunyai komitmen terhadap perdamaian dan perwujudan dunia yang lebih baik .
3. Menyiapkan individu yang mempunyai daya saing tinggi dalam dunia kerja.
D. Pendidikan Sebagai Investasi Individu
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat . Sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian yang menarik dalam gerak langkah pembangunan. Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi).Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap sektor pendidikan sebagai fondasi bagi kemajuan pembangunan di segala sektor. Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap membuang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikan, biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Apa yang dipaparkan di atas juga dirasakan di negara kita, sepertinya pemerintah belum mempunyai komitmen yang tulus dan kuat untuk berinvestasi melalui pendidikan.Disinyalir oleh Lawrence Summers, Menteri Keuangan Amerika Sarikat pada awal juli 2000, bahwa salah satu dari lima penyebab kegagalan negara berkembang ialah karena kurang perhatiannya pada investasi di bidang pendidikan (Kompas, 2000:14). Kemudian empat faktor penyebab kegagalan lainnya bagi negara berkembang meliputi : (1) diabaikannya mekanisme pasar; (2) lemahnya sistem kelembagaan dan hukum; (3) tidak terintegrasikannya perekonomian nasional dengan kekuatan ekonomi global ; dan (4) kurang terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Selain itu juga dapat kita baca di media masa yang mempersoalkan anggaran pendidikan yang hanya 11,8 persen dari 20 persen yang seharusnya dianggarkan menurut undang-undang. Ini jelas menunjukkan rendahnya komitmen pamerintah untuk berinves di bidang pendidikan. Padahal di negara-negara maju mempunyai kecendrungan yang amat kuat dan jelas semakin meningkatkan investasinya dalam dunia pendidikan.
Cara pandang tradisional tersebut di atas sekarang ini sebenarnya telah mulai bergeser sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan, yang sebagian telah penulis paparkan pada poin C, dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan suatu bangsa.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as invesment) telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh banyak negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital invesment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith , Heinrich Von Thunen ( dan para teoritisi klasik lainnya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah tersebut baru menemukan memontumnya pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Invesment in Human Capital” di hadapan The American Economic Association. Pesan utama pidato tersebut sederhana, bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Lebih lanjut Schultz memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini mengundang ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Cohn sebagaimana dikutip Moch. Idochi Anwar memperinci empat nilai ekonomi pendidikan: Pertama, berdasarkan pendekatan human capital yang mengkonstantasi hubungan linier antara invesment of education dengan higher productivity dan higher earning. Maksudnya, manusia sebagai modal dasar yang dinvestasikan dalam pendidikan akan menghasilkan manusia terdidik yang produktif, dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kinerja yang ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut. Kedua, berdasarkan pendekatan radikal yang menyatakan bahwa pendidikan yang lebih baik diperuntukkan bagi tingkatan ekonomi tinggi. Tingkatan pendidikan sebagai penentu masa depan manusia harus mendukung seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuan akademik dan sosial mereka. Ketiga, berdasarkan taxonomy of education benefit diperlihatkan bahwa peningkatan kapasitas penghasilan manusia terdidik berhubungan nyata dengan tingkat pendidikan. Aktualisasi pendidikan pada level tertentu menggambarkan keterkaitan antara private dengan social benefit pendidikan.
Apa yang Cohn kemukakan pada poin pertama di atas tampaknya sulit untuk dibantah, semakin terdidik seseorang akan semakin produktiv dan berkualitas hasil kerjanya dan dengan demikian akan berdampak pada penghasilannya. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan ia memiliki keterampilan teknis yang diperolehnya dari pendidikan. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Adanya pendidikan life skill dan broad based education adalah untuk mengembangkan keterampilan hidup tersebut. Untuk menghasilkan SDM yang produktif seperti yang dijelaskan di atas jelas tidak mudah.Dengan demikian perlu dirancang pengembangan SDM yang meliputi:
1.Penggunaan pendekatan pendidikan dan pelatihan yang sistematis dan terencana;
2. Penerapan kebijakan dari pengembangan yang berkesinambungan;
3. Penciptaan dan pemeliharaan organisasi pembelajaran;
4. Pemastian bahwa seluruh kegiatan pendidikan dan pelatihan terkait dengan kinerja;
5. Adanya perhatian khusus untuk pengembangan manajemen dan perencanaan karir.
Sedangkan pada poin kedua tampaknya tidak sesuai dengan konsep demokrasi dalam pendidikan. Di mana pendidikan itu diperuntukan untuk semua warga negara tanpa membedakan antara kaya dan miskin. Memang pada situasi tertentu apa yang dikemukakan Cohn tersebut ada benarnya. Dan untuk poin ketiga yang dikemukakan Cohn sepertinya juga sulit dibantah. Berikut penulis kutipkan pernyataan Francis Wahono yang mendukung tesis di atas:
Bahwa masuk sistem persekolahan adalah harapan atau kadang mimpi menaikkan jenjang status ekonomi sosial dan produktivitas bangsa memang bukan sebuah mimpi kosong atau fatamorgana. Pasar pemekerjaan dan upah/gaji yang berlaku serta investasi manusia yang handal di masyarakat kita menunjukkan keterkaitan erat dengan jenjang pendidikan formal dan pelatihan yang dicapai. Tabel 8 dengan jelas menunjukkan kecendrungan keterkaitan itu. Dari tahun 1976 sampai tahun 1986 misalnya, pendapatan pekerja lulusan Perguruan Tinggi adalah 1.5 kali pendapatan mereka yang lulus Sekolah Menengah Atas.
Sementara itu di Amerika Sarikat (1992), seseorang yang berpendidikan doktor memiliki penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dolar.
Investasi dalam pendidikan juga menunjukkan tingkat pengembalian (rate of return) yang lebih tinggi daripada investasi fisik di bidang lain. Tingkat pengembalian pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja.Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan tingkat pengembalian investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modan fisik, yaitu 20% dibanding 15%. Sementara itu, di negara-negara maju tingkat pengembalian investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik, yaitu 9% dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan karena jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan , sehingga tingkat upah lebih tingi dan menyebabkan tingkat pengembalian terhadap pendidikan juga tinggi.
Dari uraian-uraian di atas semakin jelas bahwa pendidikan bagi individu merupakan investasi bagi dirinya sendiri untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan, yang sekaligus menunjukkan keberhasilan pendidikannya. Keberhasilan pendidikan seseorang atau individu setidaknya dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:
1. dapat tidaknya seorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi,
2. dapat tidaknya memperoleh pekerjaan,
3. besarnya penghasilan (gaji) yang diterima,
4. sikap prilaku dalam konteks sosial, budaya , dan politik.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Nanang Fattah di atas, Danil Golemen beranggapan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat, termasuk didunia kerja sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi (80 %) dan hanya 20 % ditentukan oleh faktor kecerdasan kognitif (IQ).
Sementara itu George Boggs (dalam Jefferson center, 1977) menunjukkan dalam penelitiannya bahwa ada 13 indikator penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, dan ternyata dari 13 indikator tersebut, 10 di antaranya (hampir 80 %) adalah kualitas karakter seseorang, sementara hanya 3 indikator saja yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ). Indikator-indikator tersebut adalah:
1. Jujur dan dapat diandalkan
2. Bisa dipercaya dan tepat waktu
3. Bisa menyesuaikan diri dengan orang lain
4. Bisa bekerjasama dengan atasan
5. Bisa menerima dan menjalankan kewajiban
6. Mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri
7. Berfikir bahwa dirinya berharga
8. Bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif
9. Bisa bekerja mandiri dengan supervisi minimum
10. Dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya
11. Mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan)- IQ
12. Bisa membaca dengan pemahaman memadai- IQ
13. Mengerti dasar-dasar matematika (berhitung)- IQ.
Apa yang tertera di atas, tergambar bahwa 10 dari 13 indikator (77 %) tersebut berkaitan dengan karakter yang merupakan domain otak kanan , dan sisanya (23 %) berkaitan dengan otak kiri. Dan kesemuanya ini adalah tugas pendidikan untuk mewujudkannya.
Hasil studi lain menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan semakin baik pula tingkat kesehatannya.





E. Penutup
Pendidikan merupakan instrumen yang amat penting bagi setiap bangsa untuk meningkatkan daya saingnya dalam percaturan politik, ekonomi, hukum, budaya dan pada tata kehidupan masyarakat dunia global. Semakin intensif suatu bangsa melakukan investasi dalam dunia pendidikan, akan semakin meningkat daya saing bangsa itu. Demikian halnya dengan bangsa kita, jika ingin maju dan unggul harus menjadikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Begitu pula dengan setiap individu. Dengan berinvestasi melalui pendidikan, seseorang harus berprinsip”Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Atau meminjam ungkapan falsafah jawa, “Wani ngalah duwur wekasane” (Berani mengalah, namun akhirnya menang).












DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad, Khursyid, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Surabaya: Pustaka Progressif,1992.
Anwar, Moch. Idochi, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan (Teori, Konsep dan Isu), Bandung: Alfabeta, 2004.
Bastian Indra, Akuntansi Pendidikan, Jakarta: Erlangga, 2007.
Cahayani, Ati, Strategi Dan Kebijakan Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Indeks, 2005.
Danim, Sudarwan, Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Danumihardja, Mintarsih, Manajemen Keuangan sekolah, Jakarta: Uhamka Press, 2004.

Fadjar, A. Malik, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Editor: Mustofa Syarif dan Juanda Abu Bakar, Jakarta: LP3NI, 1998.

Fattah, Nanang, Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.

Megawangi, Ratna, dkk, Pendidikan Holistik, Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2005.

Nurulpaik, HK, “Pendidikan Sebagai Investasi,” dalam http://www.pikiran –rakyat.com/cetak/0404/05.

Saefuddin, A. M., et al., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1987.

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar:Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina, 2001.

Suyanto dan M.S. Abbas, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, Yogyakarta: Adicita, 2001.
Suryadi, Ace, Pendidikan,Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Erlangga, 1999, h. 247.

Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), Jakarta: PSAP, 2006.

Wahono, Francis, KapitalismePendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras, dan Pustaka Pelajar, 2001.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000.





KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat dan salam untuk Rasulullah Saw. keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini berjudul “Pembiayaan (Budgetting) Dalam Pendidikan: Analisis RAPBS MTs. Negeri Dumai ” yang merupakan tugas akhir pada mata kuliah Ekonomi Pendidikan. Dalam makalah ini ditekankan bahwa penyususnan RAPBS hendaklah ditata seemikian rupa sehingga fungsi-fungsi anggaran dapat tepat sasaran, efektif dan efisien.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu sangat diharapkan masukan dari Bapak dosen Pembimbing, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada dapat dikurangi. Penulis mengaturkan terima kasih atas bimbingan Bapak sehingga tulisan dalam makalah ini dapat diselesaikan, demikian pula atas motivasi-motivasi yang Bapak berikan, sehingga penulis mempunyai keberanian menulis problem-problem pendidikan dan keislaman di Koran harian Dumai Pos.
Demikian, semoga bermanfaat.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM :
STUDI ATAS PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag
(Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)

ABSTRAK

Penelitian ini memfokuskan pada tema tentang pembaharuan pendidikan Islam, yang berupaya membawa suasana baru memperkenalkan kembali salah satu khasanah pemikiran keislaman abad modern di dunia Islam yaitu Fazlur Rahman.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), Sedangkan Penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis dan analisis data digunakan analisis isi (content analysis).
Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah bahwa kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

Kata Kunci : Pembaharuan, Pendidikan Islam, Fazlur Rahman

A. PENDAHULUAN
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh penetrasi Barat terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa mundurnya umat Islam itu jika dihadapkan dengan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tersebut, maka pada abad ke-20 mulailah diadakan usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan manusia termasuk dalam bidang pendidikan.
Manurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan Pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan pada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu untuk menyelamatkan umat Islam dan pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam standar-standar moralitas tradisional Islam. (Rahman, 1984 : 86)
Pada dasarnya ada tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern.
Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler modern. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah berkembang pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 : 131)
Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang dilakukan pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yang luas (Rahman, 1984 : 131).
Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang tidak perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika), dan segudang karya tentang hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam berbagai disiplin zaman pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).
Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi telah dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan untuk menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138)
Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang seperti diuraikan di atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan masih minimnya jumlah buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik mempunyai bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak akan dihasilkan dalam skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat kondisi yangh demikian ini, Rahman mencoba menawarkan solusinya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tersebut, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat penting.
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji pandangan seorang sarjana Muslim yang memiliki dua tradisi lingkungan pendidikan – lingkungan pendidikan Deoband, dan lingkungan pendidikan modern Barat – yakni Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yang sangat urgen dibahas di sini adalah tentang sifat dari sistem pendidikan Islam.
Dari latar belakan masalah yang diuraikan di atas dapat diketahui bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada beberapa problerm pendidikan.
Oleh karena itu yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini adalah
1. Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman?
2. Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu ?
2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yang perlu dielaborasi atau dijelaskan agar bisa lebih terfokus yang tidak bias oleh beragam pengertian dan interpretasi dalam menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam
Istilah education dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin educere berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke dalam kepala seseorang. Dari pengertian istilah ini ada tiga hal yang terlibat ; Yaitu imu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk di kepala (Langgulung, 1992 : 4).
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Namun menurut beberapa ahli pendidikan, terdapat perbedaan antara ketiga istilah itu. Ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah yang lebih sering dipergunakan di negara-negara berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang, tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela atau menternak. Sementara pendidikan yang diambilm dari istilah education itu hanya untuk manusia saja (Langgulung, 1992 : 4-5).
Pemakaian ta’dib, menurut al-Atas, lebih tepat, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, tetapi juga tidak luas meliputi makhluk makhluk selain manusia. Ta’dib sudah meliputi ta’lim dan tarbiyah. Selain itu kata ta’dib erat hubunganya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).
Dalam kamus kontemporer Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991 : 353).
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar dia menjadi seorang Muslim yang semaksimal mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar terwujud kehidupan yang makmur dan bahagia (Zaini, 1986 : 12).
Pendidikan Islam yang dimaksud dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam di atas. Yang dimaksud pendidikan Islam dalam penelitian ini adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau masyarakat agar orang lain atau masyarakat itu berkembang secara maksimal sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.
2. Modern
Istilah modern berasal dari bahasa Ingrris, “modern” yang berrti sejarah modern (Echols dan Shadily, 1990 : 384). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia istilah modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan menurut Harun Nasution, istilah modern berarti masa yang dimuali dari tahun 1800 M sampai seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan istilah modern adalah seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution yaitu masa atau periode sejarah dunia yang dimuai sejak tahun 1800 M semapai sekarang ini.
Meskipun pendidikan Islam telah banyak dibahas oleh para ahli pendidikan, namun masih sedikit yang mengkaji pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.
Buku-buku yang membahas tentang pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam oleh Hasan Langgulung, Konsep Pendidikan Islam oleh Naquib al-Attas, Sistem Pendidikan Islam oleh Muhammad Quthb, dan Horison Pendidikan Islam oleh S. Ali Asyraf.
Khusus kajian terhadap Fazlur Rahman, kajian yang ada tekananya lebih banyak pada gagasannya tentang hukum dan politik. Kajian-kajian tersebut antara lain The Islamic Concept of The State karya John L. Esposito, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, dan Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.
Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam merupakan salah satu proyek sentralnya, namun penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan. Sehingga pemikiran tentang gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya Fazlur Rahman secara memadai belum banyak dikenal oleh kalangan pemerhati Islam kontempoter di Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman pada bidang filsafat dan hukum Islam.
Semenatara untuk melihat pemikiran Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur Rahman, baik dalam bentuk buku, artikel maupun makalah. Setelah itu dilakukan telaah dan klasifikasi, mana yang membahas atau yang ada kaitannya dengan tema pendidikan Islam.
Dari survei kepustakaan tentang karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan dengan paradigma pemikiran pendidikan Islam dan latar belakannya, sumber uatama yang digunakan antara lain : (1) Islam, (2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (3) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali dan (5) Revival and Reform in Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini pada garis besarnya ada tiga, yaitu :
3. Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman
4. Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu
Sedangkan manfaat penelitian diarahkan pada dua hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik dan perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua, Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan dengan teori-teori baru tentang Pendidikan Islam. Diharapkan dari sini dapat dimulai proyek besar pembaharuan pendidikan di Indonesia yang lebih menjamin terjadinya pencerahan.

B. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam.Untuk memperoleh data tentang pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-makalah yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, jurn¬al-jurnal yang terkait.
2. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis.
Pendekatan historis untuk menelusuri latar belakang pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam dengan mengurai faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya pemikiran tersebut..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data digunakan analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman tersebut kemudian dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman
Penelitian sejarah Islam pada umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul dari dampak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan masyarakat Islam lalu menumbuhkan semangat kebangkitan Islam.
Gambaran masyarakat Islam pada saat itu ibarat sebuah masyarakat yang semi-mati yang menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh masyarakat muslim dari abad 2 H./8 M. Mereka, pada saat itu, dihadapkan dengan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut adalah adanya dominasi politik Islam. Secara praktis Islam pada saat itu adalah penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi dan situasi Islam saat itu belum terbebani oleh tradisi agama yang semi-mati, hal ini sangat berbeda dengan kondisi dan situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus pada akhir abad 18 M.
Akibat kekalahan dan penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam dan mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum siap mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana diperlukan proses dan waktu yang panjang.
Kondisi obyektif masyarakat Islam yang mengalami kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang adalah modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yang menyerukan peningkatan standar moral dan intelektual untuk menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat Muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan ia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya menjadi tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119).
Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan Rahman di atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual.
Ide-ide kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban yang Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” dunia Islam untuk maju.
Karena teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim. Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan dan pemerintahan.
Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat telah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr sangat optimis dengan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak.
Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang membedakannya spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari penolakan ruh dan pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga terputus dari spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108).
Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”.
Ketiga solusi alternatif di atas masing-masing mengandung karakter yang berbeda. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr dan islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang menjadikan krisis peradaban modern sebagai orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga gagasan tersebut berada pada tataran aksiologis.
Kembali ke pokok permasalahan, pemikiran Rahman tokoh modernis yang menjadi sentral penelitian ini tidak sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yang menjadikan fakta empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana telah disinggung di muka.
Rahman menjadikan al-Quran sebagai sentral penelitian (Yuyun, 1993) untuk membangun konsep-konsep metodologis dan rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan oleh Rahman melalui usaha keras dalam membangun konsep dan merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa dua tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling terkenal adalah Rahman bersama dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93).
Program Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat ontologi dan epistemologi, tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut, menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.
2. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula .Ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah , berbeda dengan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuas).
Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan .Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari orang -orang yang pikiranya lebih cenderung kepada agama.Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama.Pertentangan ini telah menampakan diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki,Mesir,Pakistan dan Indonesia (Arifin, 1993 : 5).
Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positip.Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Rahman bahwa :
Strategi pendidikan islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis.Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam.
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an.Menurutnya bahwa :
Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya (Ibid).
Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu.
Rahman juga menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Harut dan Marut kepada manusia, itu juga merupakan salah satu jenis al-’ilm meskipun jelek dalam arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak yang menyalahgunakan sihir itu untuk memisahkan suami dari istrinya. Begitu pula hal-hal yang memberi wawasan baru pada akal termasul al-’ilm (Rahman, 1992 : 69) .

b. Sistem Pendidikan
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh negara Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tapi juga perbedaan yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.
Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang berasal dari Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap harinya.
Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan (Nafis, 1995 : 251)
Dengan demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis. 28
Menurut hemat penyusun, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama).
Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli agama, juga seorang psikolog, ahli dalam ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian pula dengan Ibn Rusyd, ia di samping sebagai ahli hukum Islam, juga ahli dalam bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan (Nata, 1993 : 31)
Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu umum (dunia) dengan ilmu-ilmu agama dalam suatu kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, oada gilirannya akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan, sesuai dengan tingkat pendidikan, sesuai dengan spesilalisasi sempit pada tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan rumah-rumah hikmah (universitas-universitas) kemudian hari sampai sekarang (Hutagalung, 1992 : 117-118)
Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu berasal dari Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya tidak mutlak (Rahman, 1984: 72)
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari melalui dua jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :










c. Anak Didik (Peserta Didik)
Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality) dari kaum Muslim. Misalnya seorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yang sama ia dapat menjadi pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. (Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian dari mereka lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam masalah-masalah agama. Sementara ruh agama itu sendiri jarang benar digumulinya secara intens dan akrab.
Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menawarkan metode sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan pertama mempunyai dua langkah.
1. Orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi dan problem historis di mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga dan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam, khususnya di sekitar Mekkah harus dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
2. Menggenerasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang difahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Qur’an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan sikap yang pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan dunia yang kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika dua momen gerakan ganda ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hidup dan efektif kembali (Ibid) Metode penafsiran yang ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai prosedur ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki dan Syathibi tentang betapa mendesaknya memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif ke dalam gerakan pertama dari metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Rahman, op.cit : 20)
d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk mendapatkan kualitas pendidik seperti itu di lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam di beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat yang berguna untuk idealita masih sulit ditemukan pada masa modern (Rahman, Op.Cit. : 139). Masalah kelangkaan tenaga pendidik seperti ini telah melanda hampir semua negara Islam.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Apabila hal ini tidak segera dilakukan maka upaya untuk menciptakan pendidik yang berkualitas tidak akan terwujud. Sebab hampir sebagian besar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yang gagal memasuki karir-karir yang lebih basah.
Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat (Rahman, Op.Cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu ia menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.Cit : 123). Atas gagasan Rahman ini, Institut yang dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal berkala ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku dan suntingan-suntingan dari naskah-naskah klasik (Rahman, Loc.Cit). Kasus institut ini melukiskan telah lahirnya kesarjanaan yang kreatif dan bertujuan.
Gagasan Rahman itu juga pernah diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN yang potensial untuk melanjutkan studinya ke universitas di negeri Barat yang mempunyai pusat-pusat studi Islam. Awal dari dampak positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa antara lain seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang pengajaran dan penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.
Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, dan yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini tampak Rahman ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yang lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap Islam.
Kelima, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian dan berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang memiliki karya yang bagus harus diberi penghargaan antara lain dengan meningkatkan gajinya (Rahman, Loc.Cit. : 522)

D. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
2. Kontribusi terhadap upaya modernisasi pendidikan Islam meliputi lima bidang, yaitu (1) tujuan pendidikan (2) dikotomi sistem pendidikan (3) anak didik (4) pendidik (mu’alim), dan (5) peralatan pendidikan.
Beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat telah menyebabkan tujuan pendidikan Islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya berorientasi kepada kehidupan akherat semata dan bersifat defensif terhadap ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi ini menurut Rahman ada tiga usaha yang harus dilakukan : (a) mengorientasikan tujuan Pendidikan Islam kepada kehidupan dunia dan akherat sekaligus dan bersumber dari al-Qur’an. (b) menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat, dan (c) menghilangkan sikap negatif terhadap ilmu pengetahuan.
Adanya dikotomi sistem pendidikan Islam telah menyebabkan rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang amemiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. Untuk mengatasi masalah ini ada empat buah usaha yang harus dilakukan ; (a) memberikan pelajaran al-Qur’an dan metode tafsir sistematis, sehingga memungkinkan al-Qur’an tidak saja berfungsi sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga tidak dijadikan sebagai rujukan sentral bagi pemecahan persoalan yang muncul ke permukaan, (b) memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis, dan menyelurruh, sehingga melalui upaya ini dapatmengintegrasikan pikiran-pikiran itu ke dalam konsep Islam yang utuh dan terpadu, (c) mengintensifkan penguasaan bahasa asing seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris disamping bahasa nasional (d) menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat.















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, terj. M. Arifin dan Zainuddin, 1990, Teori-teori Pndidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta : Rineka Cipta

Achmad, Amrullah, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed.), 1991, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya

Adams, Charles C., 1968, Islam and Modernity in Egypt, New York : Russel

Amal, Taufiq Adnan, 1987, Islam Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan

______, (ed), 1987, Motode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, Bandung : Mizan

______, dan Fauzi, Ihsan Ali, Fazlur Rahman Sang Sarjana Sang Pemikir, Jakarta : LSAF, 1988

Anderson, Norman, 1976, Law Reform in The Muslim World, London : University of London

Anshari, Endang Saefuddin, “Dunia Islam Masa Lalu dan Kini Menyongsong Abad XV Hijrah”, dalam Rdan Iqbal Emsyarif Saimina (ed.), tt., Kebangkitan Islam dalam Pembaharuan, Jakarta : Bumi Aksara

Bawani, Imam, 1987, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya : Ihklas

B. Suryosubroto, 1983, Beberapa Aspek dasar Pendidikan, Jakarta : Bina Aksara

Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia

Berkes, Niyazi, 1964, The Developments of Secularism in Turkey, Montreal : McGill university Press

Esposito, John L., 1984, Islam and Politics, New York : Syracuse University Press

Fahmi, Asma Hasan, 1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

Faruqi, Isla’il Raji, 1984, Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Pustaka.

Harahap, Syahrin, Al-Qur;’an dan Sekularisasi : Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogaykarta : Tiara Wacana Yogya.

Langgulung, Hasan, 1992, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna

Ma’arif, Syafi’I, 1993, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, Bandung : Mizan

Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina.

Nasution, Harun, 1994, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur, 1968, Islam, New York : Anchor Book

________, 1982, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition, Chicago : University of Chicago Press

________, 1983, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Bandung : Pustaka

Zuhairini dkk, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi IAIN

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA*)
Pendahuluan
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR).

Paradigma Baru Pendidikan
Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket.
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).

Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Konstruktivis
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).

Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).

Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air.

Sejarah PMR
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).
Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).
Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi tentang siswa
PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
• Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

Peran guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
• Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
• Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
• Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
• Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
• Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
• Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
• Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
• Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia
Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.
Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.
Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:
• Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.
• Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.
• Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:
- Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.
- Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.
- Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).
• Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.
• Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas.

Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.
Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).
Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
• di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
• mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
• bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
• memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Referensi
Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord.
De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.
Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.
Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.
Johnson, E.B. (2002). Contextual teaching and learning, what it is and why it’s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc.
Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer